KOMPAS.com - Nyadran adalah sebuah tradisi menjelang bulan Ramadhan yang dilakukan masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ‘sraddha’ yang artinya keyakinan.
Tradisi yang telah dijalankan oleh para leluhur ini menurut sejarah merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam.
Tradisi nyadran merupakan budaya mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di kampung halaman.
Tradisi ini juga menjadi sarana melestarikan budaya gotong royong sekaligus untuk menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat.
Tak heran jika hingga saat ini, nyadran menjadi salah satu tradisi yang masih dianggap penting bagi masyarakat Jawa.
Ragam Tradisi Nyadran di Jawa
Setiap wilayah di Jawa memiliki ragam tradisi Nyadran yang dilakukan sesuai dengan kearifan lokal yang ada di daerahnya.
Dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber, berikut adalah ragam pelaksanaan tradisi nyadran yang dilakukan masyarakat di tanah Jawa.
1. Tradisi Nyadran di Boyolali
Warga di lereng Gunung Merapi-Merbabu, seperti di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah setiap tahun menggelar tradisi nyadran.
Dalam pelaksanaan tradisi nyadran, warga akan datang dengan membawa tenong berisi makanan untuk disantap setelah prosesi doa bersama.
Apabila makanan yang disajikan habis disantap warga, dipercaya rezeki akan lancar menghampiri.
Setelah selesai makan, acara akan dilanjutkan dengan saling bersilaturahmi dengan tetangga.
2. Tradisi Nyadran di Magelang
Warga di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Sorobayan, Desa Banyuurip, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga melakukan tradisi nyadran.
Bedanya, tradisi ini dimulai dengan kerja bakti dan ziarah di pemakaman yang ada di dusun tersebut.
Hari berikutnya, warga akan kembali berkumpul dengan membawa aneka macam makanan.
Acara dimulai untuk memanjatkan doa bagi leluhur dan keluarga yang sudah tiada, salah satunya adalah leluhur setempat bernama Mbah Kyai Pulasara.
Setelah itu, warga akan menyantap makanan yang telah dibawa secara kembul bujono atau makan bersama-sama.
3. Tradisi Nyadran di Gunungkidul
Warga di Padukuhan Blarangan, Kalurahan Sidorejo, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta memiliki tradisi nyadran yang disebut nyadran seribu ingkung.
Tradisi ini dilakukan sebelum bulan puasa, tepatnya setiap tanggal 15 bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa.
Lokasinya ada di petilasan tokoh masyarakat setempat yaitu Raden Mas Tumenggung Djoyo Dikromo Secuco Ludiro.
Dalam tradisi ini, diklaim ada seribu ekor ingkung atau ayam utuh yang dimasak dengan bumbu gurih. Ingkung dan nasi gurih ini dibawa warga setempat di dalam tenggok sebagai ucapan rasa syukur dan berbagi dengan warga lainnya.
Setelah seluruh warga berkumpul, tokoh masyarakat setempat akan mulai memimpin doa.
Kemudian, panitia akan membagikan bungkusan di mana warga akan memasukan sebagian makanan yang dibawa ke dalamnya. Bungkusan tersebut akan diberikan kepada warga yang datang namun tidak membawa makanan.
4. Tradisi Nyadran di Kulon Progo
Warga di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta memiliki tradisi nyadran yang disebut Nyadran Agung.
Tradisi Nyadran Agung ini dilakukan di depan Plengkung Geblek Renteng Alun-alun Wates. Tradisi ini tidak hanya dihadiri oleh ribuan warga, namun juga pejabat daerah setempat.
Selain diisi dengan pengajian, ada juga pagelaran wayang kulit semalam suntuk pada malam harinya.
Keunikan tradisi ini adalah keberadaan gunungan jamak berisi sayur mayur, buah, jajanan, dan hasil bumi lainnya yang dibuat oleh warga dari berbagai kecamatan dan badan usaha milik pemerintah Kulon Progo.
Gunungan jamak yang dianggap sebagai gambaran kemakmuran rakyat ini akan diarak pasukan bergada mulai dari depan Kantor DPRD Kulon Progo ke Plengkung Geblek Renteng di depan alun-alun sebemum nantinya diperebutkan oleh warga.
5. Tradisi Nyadran di Cilacap
Masyarakat adat Bonokeling di Desa Adiraja, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah memiliki tradisi nyadran yang disebut punggahan.
Waktu pelaksanaan tradisi punggahan adalah selama tiga hari, yakni Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Pada hari Kamis, tradisi punggahan dimulai dengan berjalan kaki menuju makam leluhur mereka di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas.
Mereka mengenakan pakaian adat Jawa dan membawa ubo rampe, yaitu bahan makanan yang berasal dari hasil panen untuk dimasak bersama-sama peziarah dari daerah lain di Pekuncen.
Pada hari Jumat, masyarakat adat Bonokeling bersama dengan masyarakat adat di Pekuncen, melakukan ritual seperti bersih kubur atau ziarah dan selamatan.
Kemudian di hari Sabtu, masyarakat adat Bonokeling akan kembali ke Adiraja dengan tetap berjalan kaki.
Sumber:
kebudayaan.jogjakota.go.id
banyumas.tribunnews.com
kompas.com (Reza Kurnia Darmawan, Markus Yuwono, Gloria Setyvani Putri, Dani Julius Zebua, Ardi Priyatno Utomo)
https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/02/27/203743678/5-tradisi-nyadran-di-jawa-yang-dilakukan-jelang-bulan-ramadhan