Salin Artikel

"Kenapa Menaikkan Pajak 40-75 Persen? Enggak 100 Persen Saja, Biar Pelaku Wisata Mati Sekalian"

Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono mengatakan pihaknya keberatan jika pajak hiburan dinaikkan 40 sampai 75 persen. Menurut dia menaikkan pajak hiburan adalah kebijakan yang ngawur.

"Itu kebijakan yang ngawur. Ngawurnya tanpa ada pembahasan dengan asosiasi yang terkait," ucap Deddy saat dihubungi, Rabu (17/1/2024).

Ia menambahkan menaikkan pajak bisa menjadi bumerang bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya, di negara lain pajak hiburan justru diturunkan dengan tujuan menarik wisatawan datang.

"Negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Singapur, Filipina, mereka malah menurunkan pajaknya untuk menarik wisatawan datang ke negaranya. Selain itu beban konsumen tidak terlalu tinggi," bebernya.

"Kenapa menaikkan (pajak) 40 sampai 75 persen? Enggak sekalian 100 persen saja. Lebih baik 100 persen biar kita pelaku wisata mati sisan (sekalian)," ungkapnya.

Menurut dia, kebijakan menaikkan pajak ini kontradiksi dengan kebijakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang ingin mendatangkan wisatawan asing maupun nusantara.

"Wisatawan itu butuh hiburan saat datang ke destinasi. Entar itu karaoke, diskotik, spa. Mereka juga butuh hiburan tidak sekadar datang dan stay di hotel makan di restoran tetapi juga hiburan," katanya.

Dia mengatakan banyak anggota PHRI yang memiliki usaha di bidang hiburan. Sehingga bisa dipastikan terdampak kenaikan pajak. 

"Banyak anggota kita yang di sektor hiburan," kata dia.

"Bahkan (PHRI pusat) akan mengajukan judicial review untuk undang-undang tersebut," kata dia.

Ia berharap, Pemerintah DIY tidak setuju dengan kenaikan pajak hiburan.

"Pajak itu kewajiban kita tapi yang wajar-wajar saja 10 persen sampai 20 persen.  Apa bedanya dengan kami pajak hiburan. Ini yang jadi keberatan dan kami menolak," kata dia.

Sebelumnya, Pemerintah resmi menetapkan batas bawah dan batas atas tarif pajak hiburan atau pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa sebesar 40 hingga 75 persen pada tahun ini.

Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), dan baru mulai berlaku pada 2024.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu, Lydia Kurniawati menegaskan, pungutan pajak hiburan tersebut bukanlah suatu hal yang baru.

Pungutan pajak hiburan untuk jasa diskotek dan spa sebelumnya juga sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

"PBJT ini bukan jenis pajak baru. Pada saat UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebelum UU HKPD, ini sudah ada. Dikenalnya dengan pajak hiburan," tutur Lydia dalam media briefing, di Jakarta, Selasa (16/1/2024).

https://yogyakarta.kompas.com/read/2024/01/17/120244978/kenapa-menaikkan-pajak-40-75-persen-enggak-100-persen-saja-biar-pelaku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke