Salin Artikel

Biaya Politik di Indonesia Disebut Mahal, Berapa Gaji Anggota Dewan di DPRD DIY?

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis menyinggung masalah ongkos politik di Indonesia yang begitu besar hingga mencapai miliaran rupiah.

Lalu berapa gaji anggota dewan tingkat provinsi tiap bulannya?

Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD DIY Imam Pratanadi membeberkan gaji dewan berbeda-beda antara pimpinan atau ketua dan anggota dewan.

Ketua dewan per bulan mendapatkan gaji sebesar Rp 44 juta perbulannya.

"Untuk ketua dewan itu di angka Rp 44 Juta lebih sedikit perbulan. Bukan (gaji pokok) sudah termasuk semua (tunjangan)," kata dia, Senin (11/12/2023).

Sedangkan untuk wakil ketua perbulan mendapatkan Rp 39 juta lebih, dan tertinggi justru didapat oleh anggota dewan yang mencapai Rp 51 juta.

"Wakil besaran Rp 39 juta lebih sedikit, kalau anggota berdasarkan aturan di Rp 51 juta sekian," kata dia.

Imam membeberkan nominal tersebut termasuk berbagai tunjangan yang diterima seperti tunjangan keluarga, beras, dan juga jabatan.

Kemudian tunjangan yang menjadi pembeda adalah tunjangan transportasi bagi anggota dewan.

Tunjangan transportasi diberikan kepada anggota dewan karena anggota dewan tidak mendapatkan kendaraan operasional berupa mobil, sedangkan pimpinan mendapatkan fasilitas kendaraan transportasi.

"Pimpinan mendapatkan kendaraan operasional, sehigga tidak mendapat tnujangan transportasi. Itu salah satunya yang kemudian membuat (gaji) anggota itu lebih tinggi," beber dia.

Lanjut Imam, bagi ketua DPRD DIY gaji disamakan nominalnya dengan Gubernur DIY.

"Jadi kalau gaji pokok yang disetarakan pak Gubernur itu pada komponen uang representasi, besarannya Rp 3 juta," ucapnya.

Selain itu, penyebab anggota dewan memiliki gaji lebih tinggi dibanding ketua karena ada tunjangan yang diterima tetapi ketua tidak mendapatkannya, yakni tunjangan komisi, tunjangan Badan Kehormatan (BK), tunjungan Panitia Khusus (pansus), tunjungan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), serta tunjangan reses.

Ongkos politik besar

Sebelumnya, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis menyinggung masalah ongkos politik di Indonesia yang begitu besar hingga mencapai miliaran rupiah.

Menurut Romo Magnis, ongkos politik yang tinggi membuat wakil rakyat banyak diisi oleh orang super kaya dan orang yang mendapat sponsor. Hal ini membuat kepentingan rakyat kecil, termasuk nelayan dan petani kecil, sangat berpotensi terpinggirkan.

"Partai yang membela petani kecil, nelayan kecil, orang yang hidup dari pinggir jalan di daerah-daerah yang tertinggal dan sebagainya, kita tidak punya partai yang mementingkan mereka," kata Romo Magnis dalam diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (14/11/2023).

"Itu juga ada kaitan dengan kenyataan bahwa menjadi politisi begitu mahal karena harus bayar Rp 4-6 miliar," imbuhnya.

Ia lantas membandingkan ongkos politik di Indonesia dengan negara lain. Di Jerman misalnya, ongkos politik yang dibutuhkan seseorang untuk duduk di kursi parlemen hanya sekitar 13.000 euro atau setara dengan Rp 200 juta.

Ia lalu membayangkan perlu berapa lama seseorang dengan pendapatan rata-rata mampu duduk di kursi parlemen dengan biaya yang tinggi tersebut.

"Gaji saya terakhir waktu jadi profesor itu Rp 5,5 (juta). Itu bukan miliar, (tapi) juta. Berapa bulan, berapa tahun saya tidak boleh makan, supaya bisa mencalonkan diri menjadi anggota partai?" ucap Romo Magnis.

Kondisi ini kata Romo Magnis, membuat parlemen banyak diisi dengan orang yang memiliki kepentingan tertentu.

Menurutnya, jika bukan orang kaya, anggota partai yang duduk di kursi parlemen dengan sponsor hanya akan berpikir bagaimana caranya mengembalikan sponsor yang diterima jika sudah terpilih.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/12/12/141928978/biaya-politik-di-indonesia-disebut-mahal-berapa-gaji-anggota-dewan-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke