Salin Artikel

Di Balik Larangan "Dosen Killer" di UGM

Dengan adanya SOP tersebut diharapkan tidak ada lagi dosen yang keras terhadap mahasiswa atau sering disebut "dosen killer" di kampus UGM.

Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof Wening Udasmoro menjelaskan latar belakang dibuatnya SOP tersebut.

Dia menyampaikan UGM mempunyai rencana strategis 2022-2027. Dimana dalam salah satu pilarnya adalah UGM kampus yang aman, nyaman, inklusif dan bertanggungjawab secara sosial.

"Jadi bahwa kita itu institusi pendidikan nggak cuman mengajari mahasiswa itu knowledge, tapi kita ngajari mereka value (nilai)," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (3/11/2023).

Nilai atau value yang dimaksud salah satunya adalah antikekerasan. Dalam hal ini meliputi antikekerasan verbal, antikekerasan psikologis, antikekerasan fisik, antikekerasan seksual dan antikekerasan simbolik.

Menurutnya, sejak kepemimpinan Rektor Prof Ova Emilia, UGM sudah bergerak untuk kampus yang aman, nyaman, inklusif dan bertanggungjawab secara sosial.

Dia mencontohkan saat Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) UGM tahun ini. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat dan Alumni, Arie Sujito menggagas tidak ada penugasan untuk mahasiswa baru. 

Menurutnya berbagai penugasan untuk mahasiswa baru merupakan bentuk kekerasan simbolik.

"Kita menolak kekerasan simbolis, mahasiswa disuruh sana, disuruh sini. Dulu kan kita disuruh bawa telur ditandatangani Pak RT. Kita sering kali dimarahi sama Pak RT, ngapain saya RT disuruh tanda tangan telur. Saya sendiri pernah mengalami itu. Nah ini kita enggak mau, jadi everyone is happy di UGM," tandasnya.

"Intinya adalah kebahagiaan. Jadi semua itu pendidikan, knowledge, kemanusiaan itu tujuanya untuk kebahagiaan. Nah kita mempromosikan itu," imbuhnya.

"Di Indonesia ini kita kan kejar kejaran macam-macam, ranking lah, ini itu, ini itu. Tapi apakah kita pernah mempertanyakan soal happiness. Nah ini UGM memulai," tandasnya.

Dia mengatakan dosen yang melakukan kekerasan verbal, kekerasan psikologis, dan kekerasan simbolik kemungkinan ada di setiap kampus. Dia mengatakan UGM ingin memutus kekerasan tersebut. 

"Itu kan bagian dari sistem pendidikan kita yang dulu kolonial. Sistem kolonial itu dulu bagaimana yang namanya ngajarin, itu penuh kekerasan. Terus orang-orang senior dengan juniornya kekerasan, enggak pernah terputus jika kita nggak potong," urainya.

Rantai kekerasan tersebut dapat dipotong dengan membangun ekosistem dari berbagai macam segi. Berbagai hal telah dilakukan UGM untuk membangun kampus yang benar-benar memiliki empati, solidaritas dan berkemanusiaan.

"Kita sudah membuat mata kuliah- mata kuliah untuk persoalan kesehatan yang macam-macam, kesehatan fisik dan gaya hidup, kesehatan mental, kesehatan sosial anti kekerasan seksual, kesehatan ideologi anti radikalisme, anti intoleran. Di UGM sejak zaman Bu rektor ini sudah membangun itu, jadi ini harus komprehensif semua," bebernya.

"Dosen Killer"

Menurut Wening, "dosen killer" merupakan terminologi lama. Namun, di setiap zaman mempunyai makna yang mungkin berbeda.

Saat dirinya kuliah, "dosen killer" sering disematkan kepada dosen yang sering menggebrak meja. Lalu selalu memberi nilai ujian mahasiswa rendah.

Namun, "dosen killer" juga bisa disematkan kepada dosen yang suka menggunakan kekerasan verbal maupun kekerasan secara psikologis.

Wening menyebut mendisiplinkan mahasiswa dan melakukan kekerasan verbal adalah dua hal yang berbeda. Cara mendisiplinkan mahasiswa, tidak harus dengan mengeluarkan kekerasan verbal atau kekerasan psikologis.

"Memberitahu seseorang bisa caranya macam-macam. Ya karena bahasa mengandung nilai ekspresi. Sebagai contoh "goblok", itu kan sebetulnya tidak harus pakai cara itu memberi tahu mahasiswa," tegasnya.

Hal ini akan diatur dengan jelas di dalam SOP yang sedang dibuat. Penyusunan SOP ini akan melibatkan lintas ilmu, mulai dari psikologi hingga ahli bahasa.

"Nanti masih akan kami perdalam dengan teman-teman dari psikologi, karena mereka kan yang memiliki ilmunya. Tapi juga ada ahli bahasa, karena bahasa itu ada rasanya, bahasa ada muatan ekspresinya. Nanti dari psikologi, dari ahli bahasa, teman-teman sosiologi mungkin, antropologi. Jadi ada satu pemahaman yang komprehensif," urainya.

Dia mengatakan pihaknya juga telah melakukan sosialisasi ke seluruh fakultas di UGM.

Kesehatan Mental dan Kasus Bunuh Diri

Disusunya SOP tersebut juga sebagai langkah melindungi generasi muda dari persoalan kesehatan mental.

Kejadian bunuh diri, lanjut Prof Wening, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun, selalu terjadi. Tidak hanya di DIY, tetapi juga di daerah-daerah lain. Bahkan, ada anak SMP dan SMA juga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Menurutnya, hal itu terjadi karena mereka tidak bahagia. Bukan hanya di sekolah atau kampus, tapi juga di rumah.

"Nah itu makanya, kita perlu membangun ekosistem. Ketika mereka mahasiswa, di rumah tidak mendapatkan happines, ya kampus ini jangan sampai nambahin. Kampus ini harus membuat mereka justru ini tempat nyaman menemukan diri mereka secara maksimal di kampus yang aman, nyaman," tuturnya.

Dia menilai sudah seharusnya kampus menjadi tempat yang nyaman bagi selurus civitas akademika. 

"Kita kan tidak pernah tahu mahasiswa yang datang ke tempat kita itu siapa, individunya, latar belakang keluarganya kita kan nggak pernah tahu. Intinya kita punya kewajiban, membuat lingkungan yang betul-betul mereka itu aman dan nyaman," imbuhnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/11/03/200057778/di-balik-larangan-dosen-killer-di-ugm

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke