Salin Artikel

Dari Sekam Padi dan Tanah Putih, Nenek Produksi Tungku Kayu Bakar Lebih dari 20 Tahun

KULON PROGO, KOMPAS.com – Kayu tebal dan berat dengan permukaan datar dipukulkan berulang pada tanah putih lembap berbentuk kotak segi panjang di sebuah rumah limasan tua pada Pedukuhan Kaligayam, Kalurahan Kulur, Kapanewon Temon, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Tiap pukulan membuat permukaan kotak segi panjang semakin rata dan halus. 

Kotak itu sebenarnya calon tungku kayu bakar, dengan panjang sekitar 1,5 meter, lebar 50 sentimeter, dan tinggi 40 sentimeter. 

Calon tungku berwarna putih kusam karena masih lembap. Terdapat belasan tungku serupa di bawah atap rumah limasan milik keluarga Sabiyem (64), nenek empat cucu ini.

Pukulan itu dilakukan seperti tepukan berulang. Dengan begitu, dinding tungku jadi semakin halus. Sabiyem setiap hari melakukan pekerjaan ini. Tepukan-tepukan itu terdengar sayup-sayup dari jalan provinsi Jalan Temon-Kokap.

“Daripada menganggur, malah nglangut (melamun). Meski hasil sedikit, tapi lama-lama kan bisa jadi bukit,” kata Sabiyem di rumahnya, Kamis (14/9/2023).

Di sini rumah produksi tungku dari tanah putih. Lokasinya tidak jauh dari industri genting dan batu bata Hargorejo.

Sabiyem turun tangan sendiri membuat tungku ini. Ia bersama anak perempuannya, Kodiyah (44), membuat tungku.

Sabiyem menceritakan, produksi tungku seperti ini sudah dilakukan lebih dari 20 tahun. Ia mengerjakan pekerjaan tersebut di tengah kesibukan sebagai buruh tani di sawah dan mengurus rumah tangga. 

Keterampilan membuat tungku diturunkan orangtua terdahulu. Hal ini seiring banyaknya penderes dan perajin gula kelapa di Kapanewon atau kecamatan Kokap, tidak jauh dari Sabiyem tinggal. Penderes dan perajin gula kelapa memasak nira menjadi gula merah menggunakan tunggu kayu bakar. 

Tungku dibikin dari tanah putih campur sekam padi. Campuran ini diperlukan agar tanah putih tidak pecah-pecah dan retak.

Bahan dasar tanah putih sejatinya mudah didapat di perbukitan Kokap. Sabiyem selalu memesan satu pickup tanah putih seharga Rp 50.000, bila persediaannya menipis. 

Pembuatannya diawali dengan mengaduk tanah putih dan sekam sambil dicampur air. Campuran sekam membuat tanah tidak mudah retak.

“Diaduk sambil diinjak-injak,” kata Sabiyem.

Tanah basah menggumpal itu kemudian dibangun pelan-pelan, mulai dinding mengeliling hingga bagian atas. Prosesnya memakan waktu seharian. 

Sabiyem tidak menggunakan cetakan. Ia hanya mengira-ngira sambil memanfaatkan kayu sepanjang 1,5 meter sebagai pengukur panjang tungku bikinannya. 

Setelah jadi, ia menghaluskan permukaan dengan cara dipukul-pukul pakai kayu permukaan datar hingga permukaan tungku menjadi halus, lantas dibiarkan kering. 

“Bikin satu tungku sampai kering dan bisa diambil konsumen itu paling cepat satu bulan. Makanya, siapa saja yang mau beli pesan dulu,” kata Sabiyem. 

Ia membuat dua variasi, Rp 125.000 untuk tungku tiga lubang dan Rp 50.000 – 75.000 yang satu sampai dua lubang. Pembelinya kebanyakan dari wilayah Kokap. Mereka mengambil sendiri tungku jadi di rumah Sabiyem.

Dalam satu bulan, 10-12 tungku terbeli. Sabiyem dan Kodiyah membagi dua hasil penjualan. 

“Belajar dari Simbah, diturunkan ke anak-anaknya. Selain saya, ya saudara saya ada bikin tungku, tapi tidak sebanyak kami,” katanya.

Usaha keras tersebut telah membuat dua anaknya lulus SMA. Salah satu di antaranya kini membangun bengkel kendaraan di depan rumah.

Musim kemarau seperti sekarang menguntungkan para perajin yang berkutat tanah dan lempung. Cuaca terik menjadikan tungku bikinan tangan jadi cepat mengering, cuan pun segera mengalir. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/09/15/134431178/dari-sekam-padi-dan-tanah-putih-nenek-produksi-tungku-kayu-bakar-lebih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke