Salin Artikel

12 Tempat Bersejarah di Yogyakarta, dari Peninggalan Kerajaan Mataram Islam hingga Masa Kemerdekaan

KOMPAS.com - Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar menyimpan berbagai tempat dengan nilai yang bisa dikunjungi sebagai destinasi wisata edukasi.

Bahkan sederet tempat bersejarah di Yogyakarta sudah cukup populer di kalangan wisatawan, dan menjadi destinasi favorit ketika mereka berkunjung.

Tempat bersejarah di Yogyakarta juga terbilang cukup lengkap, karena menyimpan jejak sejarah dari zaman kerajaan hingga masa perjuangan kemerdekaan.

Selain lengkap, lokasinya juga mudah dijangkau serta dirawat dengan baik hingga memiliki berbagai spot foto yang Instagramable.

Dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber, berikut adalah sederet tempat bersejarah di Yogyakarta yang bisa Anda kunjungi.

1. Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta atau Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta.

Tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono beserta keluarga dan abdi dalemnya ini merupakan kawasan cagar budaya yang menyimpan sejarah berdirinya Yogyakarta.

Keraton Yogyakarta didirikan pada 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti, yang dirancang sendiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I sekaligus pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Wisatawan dapat mengunjungi beberapa bagian Keraton Yogyakarta yang dibuka untuk umum, atau mengikuti berbagai kegiatan budaya dan kesenian yang dilangsungkan di area keraton.

Seiring dengan pembangunan Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe Kauman juga didirikan 18 tahun setelah terjadinya perjanjian Giyanti.

Lokasinya berada di depan Keraton Yogyakarta, tepatnya di sebelah barat tepat Alun-alun Utara.

Masjid Gedhe Kauman tak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, namun juga menjadi lokasi berlangsungnya berbagai tradisi Keraton Yogyakarta yang dihelat pada peringatan hari besar Islam.

Seperti Keraton Yogyakarta, Taman Sari juga menjadi tempat bersejarah di Yogyakarta yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I.

Pembangunannya dilakukan bertahap selama 25 tahun, yaitu sejak Sultan
Hamengkubuwono I bertahta hingga Sultan Hamengkubuwono II menjadi raja.

Taman Sari yang sering juga disebut Water Castle atau Istana Air adalah taman kerajaan atau pesanggrahan yang digunakan oleh Sultan dan keluarganya.

Istana Air ini juga digunakan untuk tempat perlindungan Sultan dan keluarganya yang bisa menyelamatkan diri lewat jalan bawah tanah.

Pada saat Sultan dan keluarganya sudah berada dalam tempat yang aman, pintu air akan dibuka sehingga air akan menghalangi dan menenggelamkan musuh-musuh yang mengejar.

Tak hanya dikenal sebagai sentra industri perhiasan perak, kawasan Kotagede juga memiliki beberapa tempat bersejarah.

Kotagede yang dulu pernah dikenal sebagai Alas Mentaok berkembang menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.

Jejak sejarah tersebut dapat ditemukan di kawasan makam raja-raja Mataram Islam yang dibangun oleh Panembahan Senopati.

Lokasinya berada di sebelah barat Masjid Gedhe Mataram Kotagede atau sekitar 100 meter dari Pasar Kotagede dan dikelilingi oleh tembok besar.

Situs Warungboto adalah sebuah tempat bersejarah di Yogyakarta yang berasal dari abad ke-18.

Pada zaman dahulu, tempat ini dikenal sebagai Pesanggrahan Rejowinangun yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono II saat ia masih menjadi seorang pangeran dengan nama Pangeran Rejakusuma.

Gempa yang melanda Yogyakarta pada 26 Mei 2006 membuat Situs Warungboto mengalami kerusakan dan beberapa struktur bangunan runtuh.

Namun setelah dilakukan revitalisasi pada tahun 2015 hingga Desember 2016, tempat ini sudah mulai banyak dikunjungi wisatawan.

Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri berada di Gunung Merak yang terletak di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kompleks pemakaman khusus keluarga raja ini dahulu dibangun oleh Sultan Agung (1613 M-1646 M), raja dari Kerajaan Mataram Islam.

Setelah terjadi Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, baik Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta masih memiliki hak serta kewajiban yang sama dalam melakukan pemeliharaan kompleks makam ini.

Masyarakat dapat mengunjungi Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri dengan mengikuti aturan berkunjung dan arahan dari abdi dalem yang akan memandu.

Tugu Pal Putih yang lebih dikenal sebagai Tugu Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VII (1877-1921).

Tugu Pal Putih ini menjadi pengganti Tugu Golong Gilig yang dibangun tahun 1756 dan roboh akibat gempa tektonik pada tahun 1867.

Nama Tugu Pal Putih berasal dari cat warna putih yang digunakan, serta fungsinya sebagai salah satu 'tetenger' atau penanda.

Sementara nama Tugu Golong Gilig yang merujuk bentuk awal tugu yang berupa silinder (golong) dengan puncak berupa bulatan (gilig) sebagai filosofi 'Manunggaling Kawula Gusti' atau bersatunya rakyat dengan rajanya.

Adapun bentuk Tugu Pal Putih ditengarai sebagai langkah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat pada desain tugu sebelumnya.

Benteng Vredeburg pertama kali dibangun pada tahun 1760 atas perintah dari Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Pembangunan Benteng Vredeburg merupakan permintaan Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa, Nicholaas Hartingdengan dalih untuk menjaga keamanan keraton.

Padahal sebenarnya ini salah satu strategi Belanda untuk memudahkan pengawasan terhadap segala kegiatan yang dilakukan pihak Keraton Yogyakarta.

Semula benteng ini diberi nama "Rustenburg" yang berarti benteng peristirahatan. Namun setelah gempa tektonik pada tahun 1867, bangunan ini direnovasi dan namanya diganti menjadi "Vredeburg" yang berarti benteng perdamaian.

Gedung Agung atau Istana Kepresidenan Yogyakarta semula merupakan rumah kediaman resmi Anthonie Hendriks Smissaert, residen Belanda ke-18 yang bertugas di Yogyakarta (1823-1825).

Ia menggagas pembangunan Gedung Agung yang mulai didirikan pada bulan Mei 1824, dengan arsiteknya bernama A Payen.

Pembangunan ini dilatarbelakangi perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membangun gedung dengan gaya bangunan mengikuti arsitektur Eropa yang disesuaikan pada iklim tropis.

Beberapa gubernur Belanda yang ernah mendiami gedung ini adalah J.E. Jasper (1926-1927), P.R.W. van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M.de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-940), serta L. Adam (1940-1942).

Kemudian pada masa pendudukan Jepang, gedung ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, Koochi Zimmukyoku Tyookan.

Gadung ini mulai menjadi Istana Kepresidenan saat pemerintahan Republik Indonesia berhijrah dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946. Tak hanya pemimpin negara, tamu negara yang datang berkunjung juga pernah bermalam di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Monumen Pahlawan Pancasila yang dikenal sebagai ‘Lubang Buaya’ Yogyakarta adalah lokasi gugurnya dua pahlawan revolusi korban G30S.

Kedua pahlawan revolusi dari Yogyakarta tersebut adalah Brigadir Jenderal TNI Anumerta Katamso Darmokusumo (Brigjen Katamso) dan Kolonel Inf. (Anumerta) R. Sugiyono Mangunwiyoto (Kolonel Sugiyono).

Keduanya merupakan merupakan petinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dari Korem 072/Pamungkas.

Lubang tempat jasad Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono ditemukan kemudian disebut sebagai ‘Lubang Buaya’ Yogyakarta dan dibangun Monumen Pahlawan Pancasila.

Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan bangunan yang masih berada di sekitar Museum area Benteng Vredeburg, dan terletak di seberang Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Monumen ini dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Yogyakarta pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Serangan tersebut dilakukan rakyat sebagai perlawanan atas Agresi Militer Belanda ke-II yang menjadikan Yogyakarta sebagai sasaran utamanya.

keberhasilan serangan yang meski hanya mampu menguasai Yogyakarta selama enam jam saat itu membuktikan bahwa eksistensi tentara Indonesia masih ada.

Dampaknya juga sangat besar bagi pihak Indonesia karena memperkuat posisi tawar Indonesia dalam perundingan saat bersidang di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Monumen Yogya Kembali (Monjali) adalah bangunan untuk memperingati peristiwa berfungsinya kembali Kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia yang direbut dari penjajah Belanda pada tanggal 29 Juni 1949.

Monumen Yogya Kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 6 Juli 1989.

Ide atau gagasan untuk mendirikan museum ini adalah Bapak Kolonel Soegiarto.

Bangunan ini berisi museum yang memuat berbagai koleksi seperti patung peraga, arsip, daftar nama pahlawan, relief, diorama, dan lain-lain.

Sumber:
kebudayaan.jogjakota.go.id  
pariwisata.jogjakota.go.id 
gramedia.com  
budaya.jogjaprov.go.id  
budaya.jogjaprov.go.id  
warungbotokel.jogjakota.go.id  
tataruang.jogjakota.go.id  
vredeburg.id  
emdikbud.go.id  
yogyakarta.kompas.com 
monjali-jogja.com

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/30/220716178/12-tempat-bersejarah-di-yogyakarta-dari-peninggalan-kerajaan-mataram

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com