Salin Artikel

Mengenang Djoko Pekik dan Lukisan-lukisan yang "Berbicara"

Seniman Butet Kartaredjasa membenarkan kabar tersebut.

"Nggih (iya), meninggal jam 08.00 WIB wau (tadi)," kata Butet saat dihubungi oleh awak media, Sabtu.

"Bersuara" melalui lukisan

Djoko Pekik yang lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937, adalah salah satu seniman yang "bersuara" melalui lukisan-lukisannya.

“Melukis itu bicara kepada orang lain, bicara kepada siapa saja, bicara kepada publik,” ujar Djoko Pekik, dikutip dari Kompas.id, Kamis (3/3/2023).

Djoko Pekik, dalam wawancara pada program Beginu pada Maret 2022, membenarkan bahwa melalui kanvas dan kuas, ia biasa berbicara.

"Kalau melihat ada kanvas putih langsung saya berdiri, sabet kuas. Kanvas bisa bicara, revolusi belum selesai, jangan lupakan cita-cita revolusi Indonesia,” ujar Djoko Pekik saat itu.

Salah satu karya bersejarah Djoko Pekik adalah lukisan "Berburu Celeng". Lukisan tersebut menggambarkan keadaan para pemimpin pada masa Orde Baru.

Djoko Pekik melukis seekor celeng atau babi hutan yang dipikul oleh dua orang.

"Celeng itu adalah lambang keserakahan, apa-apa doyan, membabi buta, perusak. Kalau jalan enggak bisa lurus, jadi sesuka hatinya sendiri, mentang-mentang raja. Matinya celeng itu hanya digebuki dan diburu orang," ujar Djoko Pekik dalam wawancara dengan Kompas.com, tahun 2020.

Sebelum lukisan "Berburu Celeng", Djoko Pekik membuat lukisan "Susu Raja Celeng" pada tahun 1996.

Menurut Djoko Pekik, dalam wawancara pada program Beginu, dirinya menghadiri undangan Sri Sultan Hamengku Buwono X untuk merencanakan suatu pameran lukisan.

Sri Sultan ketika itu membebaskan tema lukisan yang dipilih dan akan bertanggung jawab.

“Sri Sultan HB X juga berkata, ‘Siapa pun pelukis mau matur apa (ngomong apa), saya yang bertanggung jawab’. Waktu itu saya menampilkan lukisan celeng hitam besar dengan enam susunya. Saya memberi judul, 'Susu Raja Celeng',” ujar Djoko Pekik.

Lukisan tersebut menuai pertanyaan dari Menteri Penerangan Harmoko yang hadir.

Djoko Pekik pun menjelaskan bahwa celeng banyak ditemui di daerah asalnya di Purwodadi, Jawa Tengah. Celeng dia gunakan menggambarkan simbol keserakahan dan kerakusan.

“Saya jawab cara bodoh, saya ingat pelajaran Bahasa Indonesia, arti kiasan itu misalnya raja alim, raja disembah, raja lalim raja disanggah. Jadi raja takhta untuk rakyat apa artinya kalau jadi raja lalim ya bisa disanggah rakyat, saya bilang begitu,” kata dia.

Solidaritas buruh sampai pandemi

Tak hanya lukisan yang menyoroti kondisi politik, Djoko Pekik juga menuangkan kepekaan sosialnya dalam lukisan "Keretaku Tak Berhenti Lama".

Lukisan tersebut bercerita tentang solidaritas antarkaum buruh.

“Keretaku tak berhenti lama. Kalau berhenti lama, saya bisa dipecat atasan. Saya itu artinya solidaritas sama teman yang tidak punya duit. Intinya solidaritas membantu buruh yang kesulitan,” kata Djoko Pekik, dikutip dari wawancara di program Beginu, Maret 2022.

Djoko Pekik juga bercerita mengenai 25 lukisan bertema "Gelombang Masker" yang ia lahirkan ketika pandemi Covid-19.

Puluhan lukisannya itu dibuat di tengah situasi mencekam ketika setiap hari muncul kabar kematian akibat virus corona.

"Saya melukis dengan tangan gemetar, jangan-jangan besok saya yang mati, sebelum saya mati, saya harus melukis," katanya. Sebanyak 25 lukisannya kemudian dipamerkan pada Maret 2022.

Menjawab makna dengan sederhana adalah cara Djoko Pekik untuk bertahan bersuara melalui lukisan-lukisannya.

“Saya ini bodoh ditanya masih sluman, slumun, slamet, harus cari selamat. Kalau terang-terangan, saya diseret,” kata dia dalam wawancara pada program Beginu saat itu.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/08/12/115436078/mengenang-djoko-pekik-dan-lukisan-lukisan-yang-berbicara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke