KOMPAS.com - Masjid Pathok Negoro atau Masjid Patok Negara adalah sebutan bagi lima buah masjid Keraton Kasultanan Yogyakarta, salah satunya adalah Masjid Wonokromo.
Lokasinya yang berada di wilayah pinggiran Kuthanegara, tepat berada di perbatasan wilayah Negaragung, sebutan hirarki tata ruang dalam wilayah kerajaan Mataram Islam yang membuat pathok negara bisa diartikan sebagai batas wilayah negara.
Masjid Pathok Negoro Wonokromo atau Masjid Wonokromo juga dikenal dengan nama Masjid Taqwa, sesuai yang tertera pada papan nama di serambi masjid.
Masjid Pathok Negoro Wonokromo terletak di Dusun Wonokromo I, Desa Wonokromo, Kapanéwon Pleret, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dilansir dari laman TribunJogja.com, lokasi masjid ini dari arah Kota Yogyakarta dapat dicapai dengan mengambil arah menuju perempatan Terminal Giwangan, kemudian menuju ke selatan melalui Jalan Imogiri.
Ikuti Jalan Imogiri sampai perempatan Pasar Jejeran, kemudian lurus sekitar 200 meter hingga menemukan pertigaan ke arah timur atau kiri sebelum jembatan. Ikuti jalan tersebut hingga menemukan Masjid Pathok Negara Taqwa Wonokromo.
Sejarah Masjid Pathok Negoro Wonokromo
Dilansir dari laman wonokromo.bantulkab.go.id, Masjid Pathok Negoro Wonokromo berdiri pada tahun 1775 Masehi dengan sengkalan “Nyoto Luhur Pandhito Ratu” yang berarti 1682 menurut tahun jawa.
Masjid ini dibangun oleh KH. Muhammad Fakih alias Kiai Welit di atas tanah perdikan yang diberikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, setelah Kiai Welit diangkat sebagai Penghulu Kraton.
Tanah perdikan yang diberikan semula hanya berupa hutan (alas) yang penuh dengan pohon awar-awar, sehingga terkenal dengan sebutan alas awar-awar.
Pembangunan masjid di ujung tenggara alas awar-awar merupakan bentuk rasa syukur Kiai Welit atas pemberian tanah perdikan tersebut.
Saat meresmikan bangunan masjid yang sederhana itu, Sultan lalu memberikan nama alas awar-awar itu dengan nama “Wa an-na karoo-maa” yang kemudian disebut dengan Wonokromo.
Nama tersebut memiliki arti “supaya benar-benar mulia” dengan harapan supaya penghuni kampung ini nantinya benar-benar mulia karena beribadah kepada Allah.
Bentuk Masjid Pathok Negoro Wonokromo
Pada awal berdirinya, bentuk Masjid Wonokromo masih sangat sederhana, dengan bangunan masjid berbentuk kerucut dan serambi masjid berbentuk limasan dengan satu pintu di bagian depan.
Adapun atap Masjid Wonokromo masih terbuat dari welit, dindingnya dari gedhek, dan mustaka masjid dari kuwali yang terbuat dari tanah liat.
Tempat wudhu juga masih terbuat dari padasan yang ditempatkan di halaman masjid di sebelah utara dari selatan.
Sumber air Masjid Wonokromo berasal dari dua sumur dengan pohon randu sebagai tempat senggot untuk menimba air.
Renovasi Masjid Pathok Negoro Wonokromo
Bentuk bangunan awal Masjid Wonokromo ini bertahan sampai dengan tahun 1867, dimana dilakukan pembongkaran oleh K.H. Muhammad Fakih II.
Pembongkaran ini mengganti bentuk atap menjadi atap tumpang, dan mustaka masjid diganti dengan bentuk bawangan yang dibuat dari kayu nangka.
Selain itu, kerangka yang semula bambu diganti dengan kayu nangka dan sebagian dengan kayu glugu.
Tembok yang semula hanya dari gedhek (anyaman bambu) diganti dengan batu bata yang direkatkan dengan tanah liat yang diplester dengan adukan aci gamping dengan tumbukan bata dan pasir.
Demikian lantainya dibuat dari bata yang ditata lalu diplester dengan adukan seperti membuat tembok.
Ruangan di sisi kiri dan kanan bagian dalam bangunan masjid atau sebelah utara dan sebelah selatan juga dibuat ruangan untuk jama’ah sholat bagi orang-orang putri yang disebut pawastren.
Sementara tempat berwudhu yang semula dari padasan dibuat kolam di depan serambi masjid, dengan air yang dialirkan dari sungai Belik.
Pada tahun 1958, Masjid Wonokromo kembali dibongkar dengan menambah gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang sebelah atas dan atap tumpang sebelah bawah.
Bangunan serambi masjid diperluas, dan kolam tempat wudhu ditimbun untuk kemudian dijadikan halaman masjid.
Tempat wudhu selanjutnya dibuat dengan bentuk kulah di sisi utara dan selatan serambi masjid.
Bangunan masjid diganti tembok yang disemen, namun empat tiang utama di dalam masjid diganti dengan batang kayu jati.
Gulu melet diberi kaca bening, sehingga suasana di dalam masjid menjadi terang.
Tempat khatib diberi semacam gazebo, dengan serambi beberapa tiang serambi terbuat dari beton dan tiang di dalam serambi dibuat dari balok kayu jati, serta penambahan kanopi (kuncungan) di depan serambi.
Lantai baik untuk ruangan masjid atau serambi diganti dengan tegel yang dibuat warna warni dengan corak ornamen kembang-kembang.
Renovasi Masjid Wonokromo dilakukan sumbangan dana dari H. Prawito Suwarno alias Tembong dari Kotagede.
Tahun 1976 kembali dilakukan penggantian mustoko yang semula berbentuk bawangan yang terbuat dari kayu nangka, diganti dengan mustoko berbentuk bawangan yang dibuat dari alumunium dengan ukuran yang lebih besar.
Pada tahun 1986, Masjid Wonokromo mendapatkan Bantuan Presiden (Banpres) sejumlah Rp. 25.000.000,-.
Dengan banyak pertimbangan, maka bangunan Masjid Wonokromo dibongkar dan diperluas atas izin tertulis dari Keraton atau setelah mendapat palilah dalem.
Bangunan Masjid Wonokromo dibangun dengan total konstruksi beton bertulang, dengan rancangan gambar yang dibuat dan dirancang oleh insinyur bangunan, dengan tidak meninggalkan arsitektur masjid corak Jawa Yogyakarta.
Hal ini juga memenuhi dhawuh dalem agar Masjid Wonokromo tidak meninggalkan corak kejawaannya, yang tertuang dalam surat palilah dalem.
Hal ini termasuk dalam pemilihan warna cat dengan komposisi hijau, kuning, merah dan kuning emas (prodo) karena ada nilai filosofisnya, dengan ornamen dengan corak Jawa Yogyakarta.
Yang menarik, rencana menara dari konstruksi beton tidak mendapat ixin dari keraton karena corak masjid di Yogyakarta memang tidak ada menaranya.
"Karena ini termasuk Masjid Kagungan Ndalem, jadi setiap hendak melakukan renovasi, kami meminta izin ke pihak keraton," kata Ketua Takmir Masjid Taqwa, KH Ismail, seperti dikutip dari Tribun Jogja.
Pada tahun 2003, masjid ini mendapat bantuan pengembangan masjid dari Dinas Pariwisata Yogyakarta.
Dana tersebut kemudian digunakan untuk membangun gedung pertemuan di utara serambi masjid.
Kulah tempat wudhu juga diubah simetris antara sebelah utara dan selatan serambi masjid. Kolam di depan di sisi kiri dan di sisi kanan serambi masjid juga dihidupkan kembali.
Selain itu, dilakukan penyempurnaan dapur untuk memasak air pada saat dilaksanakan hari-hari besar Islam di masjid.
Tradisi Unik Masjid Pathok Negoro Wonokromo
Dilansir dari laman jogjacagar.jogjaprov.go.id, terdapat tradisi unik yang dilakukan di Masjid Wonokromo yaitu saat tanda waktu masuk shalat.
Selain adzan, Masjid Wonokromo juga akan membunyikan kentongan dan bedug.
Suara dan irama bedug Masjid Wonokromo di hari-hari biasa berbeda dengan saat tanda masuk shalat ashar di hari Kamis.
Suara irama bedug disebut dengan sarwo lemah, asar dowo malem jemuah.
Bila tiba waktu ashar di hari Kamis, bedug dipukul dengan nada dan irama yang khas dan panjang, sebagai tanda bahwa nanti malam adalah malam Jumat.
Di hari Jumat, ditabuh bertalu-talu setengah jam sebelum tiba waktu shalat bedug. Di akhir pemukulan bedug disisipi pemukulan kentongan yang menandakan bahwa pelaksanaan ibadah Jumat sudah akan dimulai.
Pada saat salat Jumat, pelaksanaan adzan dilakukan dua kali. Azan pertama dilakukan sebagai tanda saat masuknya waktu shalat Jumat.
Uniknya, pada saat adzan pertama, baik petugas untuk adzan subuh, dhuhur, asar, magrib, isya akan berjajar di depan mimbar untuk mengumandangkan azan bersama-sama.
Dikenal dengan istilah azan lima, hal ini dimaksudkan supaya ada keadilan, serta momen bersatu dan bertemunya para muadzin dari masing-masing waktu shalat.
Sumber:
budaya.jogjaprov.go.id, dpad.jogjaprov.go.id, kebudayaan.kemdikbud.go.id, wonokromo.bantulkab.go.id, jogjacagar.jogjaprov.go.id, dan jogja.tribunnews.com
https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/06/28/120904478/sejarah-masjid-pathok-negoro-wonokromo-bentuk-syukur-kiai-welit-atas