Salin Artikel

Kisah Masjid Sulthoni Wotgaleh, Makam Pangeran Purbaya, dan Mitos Pesawat Jatuh

KOMPAS.com - Masjid Sulthoni Wotgaleh merupakan bangunan cagar budaya yang berada di sebelah selatan Bandara Adisucipto Yogyakarta.

Letak Masjid Sulthoni Wotgaleh masuk ke dalam wilayah dusun Noyokerten, Kalurahan Sendangtirto, Kapanewon Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dilansir dari laman jogjacagar.jogjaprov.go.id, masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, sekitar tahun 1600 M dan dikenal sebagai masjid Pathok Negoro.

Tak hanya memiliki fungsi religi, namun bangunan masjid ini juga mempunyai fungsi sebagai tempat pertahanan rakyat yang sesuai dengan namanya Pathok Negoro atau batas terluar wilayah kerajaan.

Meski sudah mengalami perbaikan, pengunjung yang datang akan langsung mengenali corak mataram yang kental pada arsitektur bangunannya.

Seperti empat saka guru yang menopang bagian atap beserta umpaknya masih dalam kondisi asli. Sementara bagian tumpangsari telah diberi tambahan elemen kayu baru dan dipernis sehingga terlihat mengkilat.

Bagian pintu dan jendela masih menggunakan komponen asli, sementara bagian usuk yang menggunakan model ri gereh, yaitu sejajar lurus satu sama lain dan tidak memusat terdapat beberapa elemen yang sudah diganti dengan kayu yang baru.

Secara keseluruhan, bentuk Masjid Sulthoni Wotgaleh masih mempertahankan bentuk aslinya, hanya saja perbaikan yang dilakukan tidak sesuai aturan yang ada dan mengalami beberapa penambahan.

Dibangun di Kawasan Makam Pangeran Purbaya

Pembangunan Masjid Sulthoni Wotgaleh sebenarnya tak lepas dari keberadaan makam Pangeran Purbaya di lokasi tersebut.

Dilansir dari TribunJogja.com, Ketua Takmir Masjid Sulthoni Wotgaleh, Muhammad Tukijan mengungkap sejarah pembangunan masjid ini.

Saat itu, banyak masyarakat yang datang ke makam Pangeran Purbaya baik untuk sekedar berziarah maupun berharap meraup berkah.

Karena mengkhawatirkan jika masyarakat akhirnya menjadi lebih percaya dengan hal ghaib dan melenceng dari ajaran agama, akhirnya didirikan Masjid Wotgaleh tepat di sebelah area pemakaman Pangeran Purbaya.

"Tujuannya agar jangan sampai orang yang berziarah ke makam imannya jadi belok, supaya mereka yang berziarah akan ke masjid dulu untuk sholat, karena jaman dulu masih banyak kepercayaan yang memuji muji orang meninggal, sehingga malah dijadikan melebihi Allah," terang Tukijan.

Dilansir dari Kompas.com, Pangeran Purbaya atau Panembahan Purboyo adalah putra pendiri Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senopati dengan Rara Lembayung, putri dari Ki Ageng Giring.

Pangeran Purbaya memiliki nama kecil Raden Damar juga dikenal sebagai Joko Umbaran.

Ia mendapat julukan Banteng Mataram karena sifatnya yang pemberani dan kiprah hebatnya di medan perang melawan penjajah Belanda.

Konon, Pangeran Purbaya kebal terhadap senjata apa pun dan hanya dapat dilukai ketika terkena kotoran yang bersifat najis.

Namun Pangeran Purbaya meninggal saat mempertahankan Keraton Plered dari serangan Karaeng Galesong dan Trunojoyo, yang memberontak pada 1677.

Selain makam keluarga Pangeran Purbaya, di sekitar Masjid Sulthoni Wotgaleh juga terdapat makam keluarga Sultan Hamengkubuwono II dan IV.

Hal ini yang kemudian membuat banyak orang datang untuk berziarah, terutama saat memperingati hari kelahiran dan kematian Pangeran Purbaya.

Mitos Pesawat Jatuh Jika Melintas di Atas Makam

Kawasan Masjid Sulthoni Wotgaleh dan makam Pangeran Purbaya juga tidak luput dari mitos yang dipercaya oleh masyarakat setempat.

Dilansir dari Kompas.com, salah satu mitos paling terkenal tentang kawasan masjid ini adalah, jika ada pesawat yang melintasi kawasan masjid dan makam, maka pesawat itu akan jatuh.

Hal ini tak lepas dari posisinya yang tepat berada di sebelah selatan Bandara Adisucipto Yogyakarta.

Bahkan, konon burung yang melintas pun bisa jatuh jika terbang di atasnya.

Beberapa insiden pesawat jatuh di dekat Masjid Sulthoni Wotgaleh pun telah terjadi beberapa kali yang membuat sampai sekarang kawasan ini masih dikenal dengan kesakralannya.

Sehingga, pengunjung yang memasuki Masjid Sulthoni Wotgaleh dan makam Pangeran Purbaya dilarang untuk melakukan hal-hal di luar etika dan norma.

Sumber:
jogjacagar.jogjaprov.go.id, jogja.tribunnews.com, jogja.tribunnews.com, dan kompas.com 
(Penulis : Febi Nurul Safitri, Editor : Widya Lestari Ningsih) 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/06/26/205806878/kisah-masjid-sulthoni-wotgaleh-makam-pangeran-purbaya-dan-mitos-pesawat

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com