Salin Artikel

Kisah SD Yayasan Swasta Katolik di Gunungkidul, Dulu Ditunggu, Sekarang Dilupakan

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Suara anak-anak bersenda gurau terdengar di sekitar lapangan SD Sanjaya Giring, Padukuhan Pengos, Kalurahan Giring, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Rabu (21/6/2023).

Namun, suara anak itu berasal dari PAUD yang berada di seberang SD Sanjaya. 

Para murid SD Sanjaya memilih bermain di dalam salah satu ruangan kelas, karena total muridnya hanya 6 orang.

Menggunakan baju kotak berwarna hitam, seorang anak langsung mencium tangan, dan menanyakan kepada Kompas.com ingin bertemu siapa. 

Muncul seorang guru muda mempersilakan menuju ruang kepala sekolah. Kepala SD Sanjaya adalah Antonius Supama.

Sebagai warga sekitar, dan alumni SD Sanjaya, Supama cukup paham mengenai sekolah yang dipimpinnya ini.

"Beginilah kondisi sekolah kami," kata Supama, membuka percakapan, Rabu (21/6/2023). 

Dia menceritakan, SD Sanjaya berdiri tahun 1972, karena saat itu di sekitar Kalurahan Giring belum ada SD.

Warga sepakat mendirikan sekolah, dan menggunakan fasilitas seadanya akhirnya didirikan sekolah. 

Saat itu, karena tidak ada payung hukumnya akhirnya meminta bantuan kepada Pastor Paroki Wonosari saat itu untuk mendapatkan legalitas sebagai sekolah.

Saat itu di bawah yayasan Sanjaya, dan seiring perkembangan waktu di bawah yayasan Bernardus. 

Pembangunan gedung permanen dimulai sekitar tahun 1982, dan berangsur dibangun menggunakan batu bata. 

"Puncak kejayaan sekolah ini sekitar tahun 1988/1989, saat itu ada ratusan murid. Semua anak di Giring, sekolah di sini," kata dia. 

Riuh anak-anak, mulai memudar ketika mulai ada sekolah negeri yang berdiri sekitar 500 meter dari lokasi SD Sanjaya Giring belasan tahun lalu.

Kemudian, disusul sekolah swasta berbasis keagamaan sekitar lima tahun lalu. 


Muridnya hanya 6 orang

Total murid yang saat ini ada di SD Sanjaya Giring ada 6 orang.

Adapun kelas 1 yang naik ke kelas 2 ada dua orang, kelas 3 yang naik ke kelas 4 ada satu orang, dan murid kelas 5 yang naik ke kelas 6 ada tiga orang. 

"Sampai hari ini tidak ada yang mendaftar ke sekolah kami, dan total murid hanya 6 orang," kata dia.

Upaya dari pihak sekolah, kata Supama, terus dilakukan mulai dari berkomunikasi dengan TK.

Komunikasi ini sebenarnya cukup intens karena hampir seluruh guru TK di Giring merupakan alumni dari SD Sanjaya Giring. 

Namun, apa daya, kebanyakan wali murid memilih untuk sekolah di SD Negeri atau swasta yang baru saja berdiri.

Padahal, untuk sekolah di SD Sanjaya tidak dipungut biaya, mendapatkan seragam gratis, hingga study tour. 

"Di sini sudah kami tawarkan dari masuk sampai lulus gratis," kata Supama. 

Pihak sekolah maupun yayasan bersepakat untuk tetap memberikan pelayanan kepada anak-anak. 

"Sampai kapanpun kami tetap akan memberikan pelayanan kepada masyarakat sekitar untuk mendapatkan pendidikan. Entah nantinya masih sekolah ataupun yang berhubungan dengan pendidikan," kata Supama, yang bertugas mulai tahun 2017.

Saat ini, ada tiga guru termasuk Supama, dan seorang penjaga sekolah. Mereka bekerja dobel jabatan, agar seluruh kegiatan bisa dilakukan. 

Diakuinya, untuk operasional sekolah pihaknya juga kerepotan, karena murid minim, berpengaruh terhadap bantuan operasional sekolah (BOS).

BOS enam anak, total Rp 5,7 juta setiap tahunnya.  

Untuk tambahan operasional dan honor guru kebetulan ada donatur dari Jakarta.

Sekitar tiga tahun terakhir dapat bantuan Rp 1 juta, per bulan. 

"Honornya bapak ibu mengikuti uang yang datang itu, dan kebetulan saya yang PNS," kata dia.


Bangunan sekolah usang

Tulisan SD Sanjaya Giring sudah mulai memudar, menandakan sekolah ini lama tidak diperbaiki.

Hal itu dibenarkan oleh Supama, karena keterbatasan operasional membuatnya tidak bisa berbuat banyak. 

Ada beberapa ruang sekolah yang bocor, mebeler sekolah yang sudah lama dan termakan usia membuat suasana SD ini seperti sekolah tahun 90-an. 

Salah seorang guru, Agustina Atik Ekawati mengatakan, dirinya bertugas di sekolah ini sejak tahun 2017, dan tidak mempermasalahkan honor yang diterimanya.

Selain menjadi guru, dirinya juga menjadi bendahara sekolah. 

Sebagai alumni sekolah ini, dia memiliki komitmen untuk tetap menjaga sekolah ini sampai kapanpun. 

"Lulusan dari sini sudah banyak, dan ada yang sukses di Jakarta," kata Atik.

Beberapa lulusan bahkan menduduki jabatan penting di perusahaan maupun instansi pemerintahan. Untuk itu, dirinya berharap sekolah ini tetap bisa berdiri.

Kisah SD Kanisus Bandung I, Padukuhan Nogosari, Kalurahan Bandung, Kapanewon Playen, lebih beruntung. Tahun ini ada tiga murid yang mendaftar. 

Namun, gedung sekolah berdiri sekitar tahun 1963 ini dulunya menjadi salah satu sekolah andalan kalurahan setempat. 

"Tapi, kemungkinan sekolah ini berdiri sejak tahun 1950 an," kata Plh Kepala Sekola SD K Bandung I Kristina Ekawati ditemui belum lama ini.

"Dulu ramai belum ada sekolah negeri dan swasta, bahkan yang tidak beragama Katolik pun sekolah di sini," kata dia. 

Saat ini, total ada 39 murid yang sekolah di SD yang berada di tengah pemukiman. 

"Yang lulus tahun ini ada lima orang, jadi tinggal 34 ditambah 3 yang masuk, jadi total ada 37 murid," kata Ekawati.

Dikatakannya, sekolah masih memberikan pelayanan seperti pada umumnya sekolah.

Guru masih lengkap, kecuali kepala sekolah belum ada yang definitif.

Selain banyak yang memilih sekolah negeri, sebagian warga sekitar sekolah juga memilih menyekolahkan anaknya di SD Kanisius Wonosari. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/06/21/160711378/kisah-sd-yayasan-swasta-katolik-di-gunungkidul-dulu-ditunggu-sekarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke