Salin Artikel

Kisah Warga di Lokasi Pusat Gempa Yogyakarta 17 Tahun Lalu, Masih Menyisakan Trauma

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Episentrum gempa bumi DIY, dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 diketahui berada di Padukuhan Potrobayan, Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong, Bantul, Yogyakarta.

Warga saat itu mendengar suara dentuman dan sumur airnya menghilang. 

Saat ini, berdiri monumen mengenang gempa bumi, didirikan sekitar 400 meter dari tempuran Sungai Opak dan Oya.

Di bawahnya ditengarai sebagai pusat gempa. Monumen dibangun tepat 10 tahun gempa bumi tahun 2016 lalu. 

Sabtu pagi saat itu, warga Potrobayan, Fitri Yuniarti (36), sedang menyapu halaman rumah.

Tiba-tiba tanah bergetar hebat. Debu beterbangan di hadapannya. 

"Cepat itu dan langsung debu-debu semua di depan saya. Ternyata itu karena banyak bangunan roboh," kata Fitri, kepada wartawan, di Potrobayan, pada Jumat (26/5/2023). 

Setelah beberapa saat kaget, dirinya langsung menengok neneknya yang berada di dalam rumah.

Saat itu, sang nenek tertimpa triplek, dan langsung dibawa ke RSUD dr Sardjito. 

Setelah gempa, Fitri hidup di pengungsian selama sebulan. Saat itu, gempa masih sering terjadi. 

Suara dentuman didengarnya dengan sangat jelas, dan Fitri menduga suara tersebut berasal dari tempuran Sungai Opak.

"Trauma ya masih, kadang kalau ada gempa lagi pasti saya takut. Tapi, semua itu berangsur-angsur bisa terkendali juga," kata dia.

Ketua RT 003 Pedukuhan Potrobayan, Kasiyoto mengatakan, saat gempa dirinya sedang di ladang menanam kacang.

Kasiyoto menggambarkan, gempa pada pukul 05.55 WIB saat itu guncangannya seperti saat menaiki perahu yang sedang menghadapi ombak.


"Saat itu mau berdiri saja susah," kata dia. 

Tak berpikir lama, Kasiyoto langsung mengayuh sepedanya menuju rumah untuk mengetahui kabar anak dan istrinya. 

Selama perjalanan batinnya berkecamuk melihat rumah roboh, ada suara tangisan.

Putaran roda sepeda semakin kencang di pagi yang akan diingatnya seumur hidup. 

Sampai di rumah, sepeda yang selalu menemaninya itu, diletakan begitu saja. Langsung mencari keberadaan keluarga. 

"Alhamdulillah anak istri saya selamat meski rumah saya roboh," ucapnya sambil tersenyum.

Setelah memastikan semuanya aman, dirinya langsung membantu tetangganya.

Tubuh yang capek, di samping rumahnya hancur tak menyurutkan untuk bergotong royong.

Isu tsunami

Setelah gempa, muncul isu tsunami. Warga yang tengah berjibaku dengan reruntuhan bangunan langsung bubar menyelamatkan diri. 

Kasiyoto ikut 'menyelamatkan diri' bersama keluarganya. 

"Panik saya jalan satu kilometer ke arah utara. Bikin kacau isu itu, untung dapat informasi kalau itu kabar bohong dan langsung balik lagi," kata dia. 

Aktivitas kembali dilanjutkan, saat itu muncul suara dentuman hingga sepekan. Dia mendengar suara dentuman seperti dari dalam tanah. 

Bahkan, pasca gempa sumur warga surut. Sumur di rumahnya sedalam 12 meter juga mengering, dan harus mengebor ditambah sekitar 20 meter. 

Dirinya mencari air di sekitar Sungai Opak, yang berada beberapa meter dari rumahnya. 

"Saya kan cari air di sungai pasti saat jlung, huyug-huyug (goncangan) di tengah Kali Opak itu ada plupuk-plupuk (gelembung air) banyak, lalu saya pergi karena takut," kata dia. 

"Trauma, sepekan saya tidak berani masuk rumah. Tapi kan ada penyuluh dan pelatihan dari banyak pihak sehingga tidak takut," kata dia. 


Lurah Srihardono Awaludin mengatakan, setelab gempa 27 Mei 2006 warga sudah kembali normal, dan mulai paham tentang tanggap bencana. 

"Selain itu, setiap tahun masyarakat selalu melakukan refleksi sehingga lebih tanggap bencana," kata dia.

Kepala Pelaksana BPBD Bantul Agus Yuli Yuli Herwanta mengatakan, masifnya edukasi kepada masyarakat mengenai gempa bumi membuat kesadaran masyarakat terkait potensi bencana termasuk gempa bumi sudah baik.

Salah satunya melalui kesenian tradisional ketoprak ketoprak edukasi dengan lakon ‘Gumregah’ di pusat episentrum gempa bumi 2006. 

BPBD Bantul sendiri sudah membuat kalurahan tangguh bencana 42 lokasi pada tahun 2022. Tahun ini akan ditambah 3 lokasi. 

"Sudah baik, tapi terus diingat dengan sosialiasi dan pelatihan serta edukasi," kata dia. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/05/27/082118478/kisah-warga-di-lokasi-pusat-gempa-yogyakarta-17-tahun-lalu-masih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke