YOGYAKARTA, KOMPAS.com - 'Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa,' petikan lagu anak ciptaan SM Mochtar ini seolah-olah menggambarkan perjuangan Arianti Marta.
Warga Kampung Sutodirjan, Kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Kota Yogyakarta, itu sedang memperjuangkan anaknya agar mendapatkan gizi yang baik.
Duduk di kursi warungnya, dia mulai menceritakan awal mula sang anak dinyatakan stunting oleh dokter pendamping.
Ini dimulai saat dia melahirkan anaknya yakni Shaqeena Nur Azalea saat virus corona sedang mengamuk di Indonesia, tak terkecuali di Yogyakarta.
Tepatnya saat bulan Maret 2020, dia melahirkan dengan proses operasi caesar. Saat itu, bayinya nampak sehat.
Namun, seiring berjalannya waktu, anaknya memiliki berat badan yang tidak seimbang jika dibandingkan dengan yang seumurnya.
Mengasuh bayi di tengah-tengah amukan virus corona sangat tak mudah, akses ke puskesmas dibatasi, akses ke rumah sakit dibatasi, hingga layanan posyandu ditiadakan saat itu.
Hal ini membuat dirinya stres dengan keadaan, ditambah tetangga sekitarnya ada yang terpapar virus Covid-19 dan beberapa di antara mereka meninggal dunia.
Kondisi ini yang mempengaruhi pola asuh pada anaknya dan sempat membuat dia kesulitan mengakses informasi soal kesehatan bayi.
Menginjak tahun 2022, saat pembatasan mulai dibuka perlahan oleh pemerintah, ia mulai aktif memeriksakan anaknya ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes).
"Bayangin saja saat corona itu ke rumah sakit, ke puskesmas, kalau dalam keadaan yang penting saja, posyandu juga sempat berhenti. Ditambah tetangga ada yang terpapar dan ada yang meninggal, stres betul saat itu," ujar Marta, saat ditemui di tempat tinggalnya, pada Sabtu (1/4/2023).
Berhenti bekerja
Setelah aktif memeriksakan anaknya, diketahui bahwa anaknya mengidap stunting atau terdapat masalah gizi kronis akibat kurangnya pasokan gizi sehingga mengganggu pertumbuhan pada anak.
Mengetahui itu, Marta tak patah arang, bahkan dia makin bersemangat dalam mengasuh anaknya tujuannya satu agar tumbuh kembang anaknya dapat normal seperti anak-anak lainnya.
Omongan orang tak ia pedulikan. Dia fokus mengasuh anak, bahkan rela keluar dari tempatnya bekerja untuk mengasuh sang buah hati.
"Saya keluar dari tempat kerja saya sebagai penjaga toko mainan, dan buka warung kecil-kecilan di rumah, biar fokus mengasuh anak," kata dia.
Warung kecilnya menjual berbagai makanan ringan untuk anak-anak dan minuman ringan.
Warung ini untuk sekadar membantu sang suami yang bekerja sebagai buruh di kawasan Tajem, Sleman.
Marta juga mengakui untuk memenuhi kebutuhan gizi anak saat ini biaya menjadi salah satu kendala karena harus terdapat protein hewani.
Tapi, setelah dia mendapatkan informasi dari fasyankes dia mendapatkan pemahaman bahwa protein hewani dapat disubtitusi.
"Ya sebenarnya berat kalau harus beli daging, tapi kan bisa disubtitusi kalau tidak bisa daging ayam, ya telur ayam. Tapi, demi anak tetap kami usahakan," kata dia.
Marta tiap satu bulan sekali harus mengontrol pertumbuhan anak di Rumah Sakit DKT. Dia bersyukur pengobatan yang saat dijalani oleh anaknya semuanya gratis.
Dari kontrol ini dia mendapatkan susu khusus yang tiap harinya harus dikonsumsi oleh anaknya.
Masalah lain timbul, anaknya masih pilih-pilih tak mau menghabiskan susu protein tinggi yang didapat dari dokter.
Hal ini membuat dirinya kebingungan. Tak hilang akal setelah konsultasi dengan dokter dia mencampurkan susu tinggi protein dengan susu formula.
Secara perlahan anaknya mau menerima susu tinggi protein ini.
"Anak saya ini kan sulit minum susu, makannya juga sulit. Ya harus telaten palan-pelan, kalau makan sulit pas dia lagi main, itu saya suapi, biasanya mau. Kalau susu dulu saya campur pakai susu formula, sesuai sama saran dokter," papar dia.
Kini, berkat ketelatenan dan kesabaran anaknya mulai membaik keadannya ditambah sang anak juga dalam keadaan sehat tidak ada penyakit pendamping yang dijangkit.
https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/04/03/161935878/pengakuan-ibu-yang-anaknya-stunting-bayangin-saat-corona-stres-betul-saat