Salin Artikel

Menilik Masjid Sela Peninggalan Sultan Hamengku Buwono I, Arsitekturnya Mirip dengan Tamansari

Namun, Kampung Panembahan ini memiliki bangunan-bangunan bersejarah yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Tak mengherankan kalau Panembahan memiliki bangunan-bangunan bersejarah mengingat lokasinya tak jauh dari Keraton Yogyakarta.

Salah satunya adalah bangunan Masjid Sela yang dibangun sejak 1780. Awalnya, kawasan panembahan ini diperuntukkan untuk Ndalem, atau rumah yang dtempati pangeran Keraton Yogyakarta.

Masjid Sela awalnya digunakan keluarga pangeran untuk beribadah, sedangkan masyarakat umum melakukan ibadahnya di luar dari masjid. Kebanyakan mereka ke Masjid Gedhe Kauman untuk beribadah.

Bangunan Masjid Sela ini mirip bangunan Tamansari atau pemandian putri pada zaman kerajaan dahulu. Bentuknya kotak dengan jendela di kanan kiri juga berbentuk kotak, serta atapnya tak mengguakan kayu.

Atap Masjid Sela menggunakan tembok tidak menggunakan kayu. Tembok seluruh bangunan tergolong tebal, yakni kurang lebih 75 sentimeter. Berbeda dengan rumah-rumah zaman sekarang.

"Tulisan di pelang ini sesuai dengan penanggalan saat dibangun 1709 Caka, kalau nasional 1780-an Masehi," ujar penjaga Masjid Sela Sunarwiyadi, Selasa (28/3/2023).

Dulunya, kawasan Masjid Sela bernama Ndalem Kadipaten yang memiliki tanah yang luas. Di antara dari bangunan-bangunan lain Masjid Sela didirikan.

Setelah Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yakni Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta (Solo), Ndalem Kadipaten ini digunakan untuk keluarga Hamengku Buwono I.

Seiring bejalannya waktu, kawasan Ndalem Kadipaten ini akhirnya digunakan oleh masyarakat umum dan Masjid Sela sempat tak digunakan bertahun-tahun. Barulah pada 1965, warga sekitar berkirim surat ke Keraton Yogyakarta untuk meminta izin menggunakan Masjid Sela.

"Balasan dari suratnya itu Keno nganggo ora keno owah-owah (boleh diapakai tetapi tidak boleh diubah)," kata dia.

Kini, bangunan asli hanya bangunan utama masjid, banyaknya jemaah yang beribadah mengharuskan menambah bangunan di sisi kanan dan kiri. Bentuk bangunan asli masih dipertahanan seperti aslinya mirip dengan bangunan Tamansari.

"Konon arsiteknya ini orang Portugis, enggak pakai kayu atapnya full tembok semua," jelas dia.

Uniknya, dari bangunan utama ini memiliki pintu yang cenderung pendek tak lebih dari 170 cm. Hal itu membuat masyarakat yang memiliki tinggi badan lebih dari 170 cm harus membungkuk.

Menurut dia hal ini memiliki makna filosofis, yaitu jika seseorang masuk ke kawasan baru harus menunduk.

"Yang sering terjadi kalau belum biasa lewat, biasanya akan terbentur kepalanya. Karena, belum waktunya tegak pengunjung badanya tegak lebih awal. temboknya tebal 75 cm," kata dia.

Konon, Masjid Sela seluruh bangunannya terbuat dari campuran spesi pasir, kapur, dan semen merah.

Hasil campuran spesi tersebut menjadi keras seperti batu berwarna hitam. Oleh karena itu masjid diberi nama dari bahasa Jawa yaitu ”Sela” yang berarti batu.

Kini, Masjid Sela masih digunakan oleh warga sekitar Panembahan, Kemantren Keraton Yogyakarta. Berbagai kegiatan Ramadhan dilakukan di Masjid Sela ini seperti Tadarus Alquran, Salat Tarawih, dan Itikaf 10 hari menjelang Idul Fitri.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/03/28/163335278/menilik-masjid-sela-peninggalan-sultan-hamengku-buwono-i-arsitekturnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke