Salin Artikel

Remaja di Sleman Bunuh Diri, Sebelumnya Unggah Status WA, Ini Kata Guru Besar Psikologi UGM

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Seorang remaja di Sleman ditemukan meninggal dunia bunuh diri di rumahnya, Kecamatan Turi, Selasa (14/2/2023).

Korban sempat update status story WhatsApp (WA) dengan foto tali tambang dan menulis "see you man teman".

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof Koentjoro mengatakan korban bunuh diri biasanya memiliki ciri kepribadian yang sangat introvert. Kemudian kepribadian yang suka menghukum diri sendiri.

"Pikiran untuk bunuh diri itu sebetulnya sifatnya itu obsesif. Jadi sekali dia pernah berusaha bunuh diri, dia selalu mencari kesempatan untuk bunuh diri. Karena itu, kepekaan lingkungan itu penting," ujar Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof Koentjoro saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/02/2023).

Koentjoro mendengar kasus yang di Sleman tersebut, korban sudah berpamitan melalui di media sosialnya. Karenanya perlu kepekaan keluarga maupun lingkungan sekitar untuk merespon tanda-tanda itu.

"Jika sudah seperti itu berarti kepekaan keluarga, kepekaan orang di sekitarnya itu yang perlu di perhatikan," ucapnya.

Di sisi lain, orangtua seyogyanya tidak hanya sebatas menjalankan fungsionalnya saja. Artinya hanya memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan.

Namun orangtua juga harus memenuhi kebutuhan psikologis anak.

"Yang saya khawatirkan keluarga itu sekarang ini hanya keluarga fungsional. Keluarga fungsional itu hanya keluarga yang menjalankan fungsi-fungsi sebagai keluarga tetapi kurang memberikan bantuan-bantuan psikologis," tegasnya.

Prof.Koentjoro mencontohkan ketika hanya memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan, anak menjadi jarang diajak menjalankan ibadah bersama-sama, tidak pernah diajak berdialog. Anak jarang dipuji dan bahkan lebih sering dimarahi.

"Sehingga sekali lagi isu ini tidak bisa kalau 100 persen lingkunganya, temanya, itu susah. Tetapi yang paling bisa adalah keluarganya. Jadi keluarganya harus aktif melihat gejala, melihat simbol-simbol," jelasnya.

Pandemi Covid-19 kemarin, bagi Koentjoro, menjadi pembelajaran. Banyak orangtua yang mengeluh bebannya bertambah karena selama sekolah di rumah harus mendampingi.

Padahal tugas orangtua memang harus mendampingi dan mendidik anak-anaknya.

"Itu menunjukan bahwa sekali lagi orangtua itu lupa kalau mendidik anak itu sebetulnya adalah tugas utama orangtua, sekolah itu hanya titipan, hanya kita titipkan. Karena tadi saya katakan, keluarga itu kebanyakan sekarang ini mereka itu hanya memenuhi sandang, pangan, papan," urainya.

Akibatnya anak tidak pernah diajari untuk membaca sesuatu yang tersirat. Tetapi hanya yang tersurat saja. Sehingga anak tidak bisa melihat lebih dalam pesan dibalik dari peristiwa yang dialaminya.

"Misalnya patah hati, kalau nggak sama dia aku nggak bisa, aku mati saja. Itu karena tidak pernah melihat yang tersirat," urainya.

Menurut Koentjoro, agama bisa menjadi benteng bagi anak. Sehingga penting bagi anak untuk belajar agama.

"Apalagi kemudian yang kedua anak ini tidak pernah belajar agama, paling tidak agama itu bisa menjadi kontrol sosial untuk tidak melakukan itu, pengendali. Kalau misalnya agamanya kuat orang tidak akan begitu, kalau agamanya tidak kuat ya mungkin bisa terjadi," bebernya.

Sehingga saat ini yang terpenting orangtua harus melakukan tugasnya untuk mendidik, mendampingi anak-anaknya. Termasuk menjadi tempat yang nyaman bagi anak bercerita baik tentang keseharianya maupun persoalan yang dialami.

"Ya itu tadi "dikaruhke' dalam kesehariannya itu, say hello misalnya di sekolah tadi gimana," pungkasnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/02/16/183634278/remaja-di-sleman-bunuh-diri-sebelumnya-unggah-status-wa-ini-kata-guru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke