Salin Artikel

Kisah Pak Pong, Perajin Barongsai Asal Yogyakarta Banjir Pesanan Jelang Imlek

Hal ini berdampak bagi penjualan dan undangan bermain bagi para barongsai. Salah satunya adalah Slamet Hadi Prayitno (75), yang bekerja sebagai perajin barongsai dan pemilik sanggar bernama Singa Mataram.

Di rumahnya yang terletak di Jalan Pajeksan, Kota Yogyakarta ia membuat barongsai. Dibantu cucunya ia membuat barongsai dengan berbagai ukuran, dari berupa mainan barongsai berukuran kecil, barongsai untuk anak 8 tahun, hingga barongsai yang digunakan untuk dewasa.

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat barongsai juga tergolong mudah didapat, terutama bahan baku untuk membuat kepala barongsai. Kepala barongsai terbuat dari kertas-kertas bekas yang dia cetak menggunakan cetakan yang terbuat dari semen.

Kertas ia lumuri dengan lem pati kanji yang dibuat secara mandiri setelah kepala jadi, lalu dikaitkan dengan rangka yang berbahan dari kayu rotan.

Di rumah yang terletak pada sebuah gang ini, aktivitas Slamet dimulai sejak beberapa minggu lalu, karena membuat barongsai tidak bisa dilakukan secara mendadak.

Pesanan pada tahun ini meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana pandemi Covid-19 masih mengamuk. Barongsai buatanya tak hanya dipesan oleh warga Yogyakarta tetapi juga dipesan dari luar daerah, dengan terjauh pesanan datang dari Papua, hingga Medan.

"Sekarang meningkat, pesanan ya dari Yogyakarta dan sekitarnya kalau luar pulau ada pesanan dari Papua," kata dia, Selasa (17/1/2022).

Barongsai mainan berukuran kecil dihargai Rp 75.000, barongsai untuk anak dibanderol Rp 100.000, dan untuk barongsai ukuran dewasa bisa mencapai Rp 5 juta sampai dengan Rp 6 juta.

"Kalau yang Rp 5 juta itu dewasa karena kan bulunya asli dari bulu domba, sedangkan di Jogja tidak ada yang jual bulu domba harus beli dari Garut. Harga Rp 5 juta sudah satu set dengan celana," jelas Slamet.

Slamet Hadi, kerap disapa Pak Pong ini sudah menggeluti pembuatan barongsai sejak 1995. Tak hanya sebagai perajin, Pak Pong juga memiliki sanggar bernama Singa Mataram dengan 60 personel.

Untuk mendalami kesenian ini, Pak Pong berguru kepada Doel Wahab. Sosok ini juga merupakan pelestari kesenian Barongsai. Dari sosok ini, Pak Pong belajar tentang teknik permainan Barongsai.

Sebanyak 60 personrl dibagi menjadi dua tim, kondisinya pun sama Imlek tahun ini sanggarnya kebanjiran order. Terutama saat malam Imlek, bahkan sampai menolak undangan manggung.

"Sudah banyak menolak, soalnya itu jamnya berbarengan. Undangan jamnya sama saat makan malam," ujar dia.

Undangan tampil pada Imlek 2023 ini didominasi dari undangan korporasi, bahkan dalam sehari Imlek kali ini bisa pentas 3 sampai 4 kali.

Pak Pong yang tidak ada keturunan Tionghoa ini mengaku mencintai barongsai karena terpengaruh lingkungannya. Tempatnya tinggal dikelilingi kampung pecinan sehingga budaya Tionghoa melekat pada dirinya.

Ia bercerita sebelum Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, etnis Tionghoa tidak berani pentas di muka umum. Jangankan menggunakan barongsai, pawai hanya menggunakan ikat kepala saat itu menjadi hal yang tabu.

"Dulu enggak berani, kalau pawai di Malioboro pakai ikat kepala dan sabuk saja lari. Setelah Gus Dur itu baru berani dan pesanan barongsai meroket," ucapnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/01/17/200502678/kisah-pak-pong-perajin-barongsai-asal-yogyakarta-banjir-pesanan-jelang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke