Salin Artikel

Mengenal Motif Batik Parang, Batik Larangan yang Tidak Boleh Sembarang Digunakan

KOMPAS.com - Batik merupakan salah satu kerajinan tradisional yang lekat dalam dalam keseharian masyarakat Indonesia.

Bahkan batik juga telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009.

Setiap motif kain batik di berbagai daerah di Indonesia memiliki corak dan warna yang berbeda.

Salah satu motif batik yang terkenal dan kerap digunakan adalah motif batik Parang.

Apa itu motif Parang?

Motif Parang adalah salah satu motif batik tertua di Indonesia yang sudah ada sejak zaman Keraton Mataram.

Tak heran jika kemudian motif batik Parang banyak ditemukan di daerah Solo dan Yogyakarta.

Nama motif Parang diambil dari kata Pereng yang berarti lereng.

Hal ini sesuai dengan corak Perengan yang berbentuk sebuah garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal, dengan ciri khas susunan motif seperti huruf S yang saling menjalin dan tidak terputus.

Dilansir dari laman kratonjogja.id, terdapat dua versi dalam pemaknaan motif Parang.

Menurut Rouffaer dan Joynboll, motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang.

Selain itu, kesatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa mendapat kekuatan berlipat.

Dalam versi lain disebutkan bahwa motif Parang diciptakan oleh Panembahan Senopati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai.

Dengan demikian, pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam, dalam hal ini yang dimaksud adalah kedudukan raja.

Sedangkan komposisi miring pada motif Parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Motif Parang sebagai batik larangan

Beberapa jenis batik dengan motif Parang ada yang masuk ke dalam batik larangan.

Batik larangan, atau di Keraton Yogyakarta disebut Awisan Dalem, adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta sehingga tidak semua orang boleh memakainya.

Motif Parang Rusak adalah motif pertama yang ditetapkan sebagai batik larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785.

Motif Parang dan variasinya kembali menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939).

Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927 tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Kraton Nagari Yogyakarta.

Ketentuan tersebut memuat aturan penggunaan batik larangan dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot.

Dalam nyamping/bebet, aturan penggunaan motif Parang sebagai batik larangan adalah sebagai berikut:

Untuk pemakaian motif Parang sebagai kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:

  1. Motif Parang Barong hanya boleh dikenakan oleh oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.
  2. Kampuh Gendreh hanya boleh dikenakan oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.
  3. Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.
  4. Motif Kampuh Parang Rusak Klithik hanya boleh dikenakan oleh untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

Sumber:
kebudayaan.pdkjateng.go.id  
indonesia.travel  
kratonjogja.id  

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/12/06/135804178/mengenal-motif-batik-parang-batik-larangan-yang-tidak-boleh-sembarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke