Salin Artikel

Upah Rendah, Pekerja Yogyakarta Hanya Bisa Mimpi Beli Rumah

Upah Minumum Provinsi (UMP) di Daerah Istimewa Yogyakarta masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Padahal, Yogyakarta memiliki berbagai julukan seperti kota pelajar, kota wisata, hingga kota budaya ini tak serta merta mendongkrak UMP DIY.

UMP DIY pada tahun 2022 seperti yang tertuang pada Surat Keputusan Gubernur DIY No.372/KEP/2021 ditetapkan sebesar Rp 1.840.915, 53.

Sedangkan untuk UMK Kabupaten/Kota itu tertuang lewat Surat Keputusan Gubernur DIY No.372/KEP/2021 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi tahun 2022. Untuk besaran UMK Kabupaten/Kota tahun 2022, ditetapkan melalui SK/373/KEP/2021 tentang Penetapan Upah Minimun Kabupaten/Kota tahun 2022.

UMK Sleman Rp 2.001.000

UMK Bantul Rp 1.916.848

UMK Kulon Progo Rp 1.904.275

UMK Gunungkidul Rp 1.900.000

Masih rendahnya upah di Yogyakarta masih membuat beberapa buruh mengeluh, lantaran saat ini bahan bakar minyak (BBM) naik membuat para pekerja menjerit dan harus putar otak untuk mencukupi kebutuhannya.

Seperti yang dilakukan oleh Trisni Suwartiningsih (29), yang bekerja di salah satu toko modern di DI Yogyakarta. gaji pokok tiap bulannya sebesar Rp 2 juta, terpaut sedikit dari UMP DI Yogyakarta, masih merasakan beratnya hidup sebagai pekerja di DI Yogyakarta ini.

Menurut dia UMP di Yogyakarta belum bisa memenuhi kebutuhan.

"Belum, apalagi sekarang BBM naik diiringi harga bahan pokok yang merangkak naik. Belum lagi ada sumbangan," katanya saat dihubungi, Senin (31/10/2022).

Untuk memenuhi kebutuhannya dia harus memutar otak agar bisa bertahan dengan gaji yang pas-pasan atau bahkan kurang, dengan cara menitip dagangan kerupuk di kantin karyawan.

"Di kantin karyawan saya menitip kerupuk harganya seribuan, Alhamdulillah bisa nambah sedikit-sedikit untuk beli beras," ujar dia.

Namun, jika pemasukan dari berjualan kerupuk tidak dapat menutup ia masih mendapatkan subsidi dari orangtuanya.

Sehari-hari ia harus mengendarai sepeda motor untuk menuju lokasi kerjanya kendaraan ini menjadi satu-satunya sebagai pilihan untuknya bekerja, dengan perjalanan kurang lebih memakan waktu 30 menit kenaikan BBM sangat berpengaruh kepadanya.

"Dulu uang BBM enggak sampai Rp 150.000. Sekarang bisa dua kali lipat, kemarin dapat bantuan BSU Rp 600.000 hanya sekali tetapi juga enggak ngaruh," kata dia.

Dia hanya bisa memandang dan bergumam dalam hati saat bekerja di toko modern melihat orang-orang berbelanja dengan entengnya, dengan harga yang cukup mahal bagi kantongnya.

"Kadang heran aja sama pengunjung, mereka kok duitnya enggak habis-habis," ucapnya.

Dengan UMP yang masih rendah jika dibanding dengan daerah lainnya rumah hanya bisa menjadi angan-angan bagi Tri, bagaimana tidak harga tanah dan rumah di DIY tiap tahunnya melambung tinggi.

"Boro-boro beli rumah, buat nabung saja enggak cukup. Apalagi harga rumah di Jogja sudah mahal," kata dia.

Hal serupa juga dialami oleh Ian Adam, pegawai swasta di Yogyakarta. Beruntung bagi Ian pendapatannya saat ini mulai di atas UMP setelah beberapa tahun bekerja.

Saat penghasilannya per bulan masih sama dengan UMR atau UMP, masih mencukupi bagi orang Yogyakarta karena tidak perlu menyewa kos atau kontrak rumah dan belum berkeluarga.

"Kalau sebagai orang yang asli dan tinggal di Jogja, itu masih sangat memungkinkan ya. Mungkin beda cerita kalo sebagai orang pendatang dengan bujet yang harus ditekan untuk biaya hidup dari pendapatan yang kurang," kata dia.

Dengan gaji UMP menurut Ian bakal sangat sulit buruh di Yogyakarta untuk membeli rumah di Yogyakarta.

"Enggak, kalau pun bisa itu bakal nyesek banget. Bakalan ngos-ngosan ngatur keuangan, dan bakalan tetap kurang," ujar dia.

Sebelumnya, Sekjen dpd Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY yang juga tergabung dalam MPBI, Irysad Ade Irawan mengatakan perayaan HUT ke 266 Kota Yogyakarta dan pelantikan Gubernur DIY 2022-2027 sama sekali tidak menggambarkan kesejahteraan warga DIY, khususnya pekerja/buruh.

"Ironisnya kemegahan perayaan itu sekedar menjadi obat sirup yang sekejap saja mengalihkan penderitaan warga DIY akibat kebijakan upah murah yang menimpanya," katanya melalyi keterangan tertulis, Kamis (27/10/2022).

Irsyad membeberkan kondisi kemiskinan yang naik dan ketimpangan yang semakin naik pula dibarengi dengan kebijakan upah murah yang diterapkan di DIY. Bahkan sebelum kenaikan upah minimum, pekerja/buruh di DIY harus menanggung defisit ekonomi.

"Dalam pengertian, upah yang diterima pekerja/buruh dalam satu bulan, jumlah lebih kecil dari jumlah pengeluaran kebutuhan hidup layak. Sepanjang tahun 2021-2022, nilai KHL selalu lebih tinggi dari upah minimum kabupaten/kota di DIY," kata dia.

Menurutnya semakin murah upah minimum di suatu kabupaten, semakin tinggi tingkat kemiskinan di kabupaten tersebut.

"Sebagai contoh: sepanjang 2019-2021, UMK Gunungkidul merupakan yang terendah di DIY, dan pada saat itu pula tingkat kemiskinan Gunungkidul merupakan yang tertinggi di antara kabupaten/kota lainnya," katanya.

Kondisi ini menurut dia penetapan upah menjadi yang penting dalam program strategua pengentasan kemiskinan, upah minimum memberikan dampak terhadap tingkat kemiskinan melalui peningkatan rata-rata upah, di mana tingkat kemiskinan

Iryad menambahkan dengan kondisi ini maka pihaknya menuntut agar UMK pada 2023 mendatang naik di angka Rp 3,7 hingga Rp 4,2 juta.

"Meminta Gubernur DIY menetapkan UMK 2023 sebesar Yogyakarta Rp 4.229.663; Sleman Rp 4.119.413; Bantul Rp 3.949.819; Gunungkidul Rp 3.407.473; Kulon Progo Rp 3.702.370," kata dia.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/11/01/092215778/upah-rendah-pekerja-yogyakarta-hanya-bisa-mimpi-beli-rumah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke