Salin Artikel

Terkait Kasus Sambo dan Teddy Minahasa, Agum Gumelar: Jangan Kita Bertepuk Tangan di Atas Keprihatinan Satu Angkatan

Agum menyampaikan bahwa Republik Indonesia mengandalkan TNI dan Polri sebagai jaminan tetap kokohnya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Agum mengimbau masyarakat agar tidak mudah termakan isu-isu yang belum tentu benar yang bertujuan memecah belah bangsa.

"Kalau satu angkatan mengalami keprihatinan, seperti yang sekarang terjadi di unsur kepolisian, ada kasus Ferdy Sambo ada kasus Tedy itu keprihatinan bagi Polri, keprihatinan ini adalah keprihatinan bersama kita, keprihatinan angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara. Jangan kita bertepuk tangan di atas keprihatinan satu angkatan kalau kita ingin bangsa ini tetap kokoh," katanya, Kamis (20/10/2022).

Dia menambahkan isu-isu yang disebar di masyarakat seperti propaganda bahwa polisi adalah musuh rakyat dan tentara adalah sahabat rakyat. Isu-isu seperti ini seharusnya menurut dia tidak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat.

"NKRI mengandalkan TNI dan Polri, maka upaya ini berlangsung intens masif demo, yang lalu, hati-hati tentara adalah sahabat kita, polisi adalah musuh kita, jangan termakan isu ini, ini upaya memecah bangsa," jelas dia.

"Jadi selama ini dicanangkan, soliditas TNI dan Polri adalah jaminan tetap kokohnya NKRI. Sebesar apapun ancaman selama TNI Polri solid tak akan mampu menggoyahkan negara, itu yang harus kita simak bersama," kata dia.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X menambahkan, untuk menjaga keutuhan bangsa semboyan Bhinneka Tunggal Ika harus dipahami secara utuh.

"Kita ini hanya mengakui sebelah saja pokoknya berbeda-beda harus satu tetapi yang satu itu tidak pernah mengakui yang berbeda-beda, itu tidak pernah kita utarakan," papar Sultan.

Menurut Sultan perlu adanya perubahan pemahaman secara utuh bahwa yang berbeda-beda tetapi satu, tetapi yang satu juga mengakui perbedaan.

"Itu saya sampaikan karena kita maritim bukan kontinental, kalau kontinental itu bicara mayoritas minoritas. Kalau maritim gak bicara itu yang minoritas maupun mayoritas diakui dalam konstitusi," ucap dia.

Sultan mencontohkan akan menjadi sulit saat bicara mayoritas harus tunduk kepada agama mayoritas, atau penduduknya mayoritas. Padahal menurut Sultan minoritas juga diakui oleh negara yang diwujudkan dengan lambang megara dengan undang-undang.

Sultan bercerita saat dirinya berdialog dengan mahasiswa, mahasiswa menyampaikan kepadanya bahwa tidak bisa menggunakan bahasa Jawa dengan baik.

"Saya sampaikan teman-teman kampus saat itu bicara 'Sultan mohon maaf tidak bisa bahasa jawa dengan baik'. Loh kamu bicara sama saya nggak harus pakai Bahasa Jawa, ya kan kamu enggak perlu jadi orang Jawa salah kamu jadi orang Jawa," ucap Sultan.

Sultan menambahkan mahasiswa dari Ambon, Papua, Sunda dan daerah-daerah lain tidak perlu menjadi orang Jawa saat berkuliah di Yogyakarta, yang terpenting adalah menjadi orang Ambon, Papua, Sunda yang baik.

"Dari Ambon, Papua, Sunda ya jadi orang Ambon, Papua, Sunda yang baik. Perkara bisa Bahasa Jawa kebetulan sekolah di Jogja karena suku kamu juga diakui oleh negara ini, ini yang sering saya dapatkan saat dialog," beber Sultan.

Contoh lainnya adalah saat Sultan menghadiri seminar di Papua, saat membuka seminar panitia membukanya dengan pemukulan Gong. Hal ini dinilai Sultan tidak pas, karena seharusnya yang digunakan untuk membuka acara bukan pemukulan gong tetapi pemukulan Tifa.

"Di Papua yang ditabuh kok gong, mestinya kan tifa. Itukan maunya orang Jawa itu kan gitu," imbuh dia.

"Kira-kira contoh seperti itu yang sering terjadi kelihatannya kecil tapi sangat menentukan," timpal Sultan.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/10/20/200257578/terkait-kasus-sambo-dan-teddy-minahasa-agum-gumelar-jangan-kita-bertepuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke