Salin Artikel

Mengenal Tobong Gamping, Calon Ikon Gunungkidul yang Baru

Kompas.com mendatangi beberapa tobong gamping yang masih tersisa di Kalurahan Piyaman, Kapanewon Wonosari. Sampai di lokasi, terlihat asap hitam mengepul dari salah satu tobong gamping.

Kepulan asap tersebut menandakan tobong gamping masih aktif untuk pembakaran batu. Di sela pembakaran, ada tiga orang pekerja yang usianya masih muda. Mereka tampak memecah batu putih yang nantinya akan dibakar.

Selain itu ada juga dua orang yang usianya sepuh tampak sarapan dan menunggu cerek merebus air. Seorang lainnya menunggu perapian. 

Saat ban dan kayu masukan asap hitam keluar dari atas tobong.

"Sudah lama saya bekerja di tobong gamping. Tapi pindah-pindah," kata kata salah seorang pekerja Supardal (66) ditemui Kompas.com di Padukuhan Pakeljaluk Selasa (27/9/2022).

Sambil menikmati sarapan nasi bungkus, Supardal menceritakan jika beberapa belas tahun lalu tobong gamping masih banyak ditemukan. Namun setelah gempa 2006, lalu munculnya penggilingan batu kapur, pamor tobong gamping mulai berkurang.

Di samping kanannya ada bangunan berbentuk persegi dengan ketinggian sekitar 5 meter, dengan lebar kurang lebih 4 meter. Di tengahnya terdapat lubang untuk membakar batu.

Sebagai pelaku tobong gamping, Supardal menjelaskan secara rinci cara kerja tobong gamping. Batu putih yang sudah dipecah menjadi ukuran kecil ditata dalam tobong dengan posisi mengerucut.

Di bawahnya ada perapian yang diisi kayu dan ban bekas. Agar api tetap stabil maka menggunakan blower.

"Jika dibakar mulai jam segini (pukul 08.00 WIB) paling sampai pukul 10.00 WIB hari berikutnya. Kalau asapnya sudah putih berarti sudah matang," kata Supardal.

"Sekarang lebih banyak pemesan, kalau orang di sini sudah jarang menggunakan," kata dia.

Dulu warga menggunakan gamping untuk bahan campuran semen dan pasir. Selain itu, juga untuk pengecatan rumah atau pagar.

Tak jauh dari Supardal, duduk dua orang sedang mendinginkan hasil pembakaran batu putih yang sambil memasukkannya ke dalam karung.

Salah satunya Palio, yang usianya sudah diatas 65 tahun. Palio hanya menggunakan penutup kepala dari kaos, untuk mengurangi debu yang masuk ke dalam hidung, dan rambutnya.

Sudah sejak tahun 2006 dirinya bergelut dengan debu dan batu. Akhirnya, beberapa tahun terakhir dirinya menyewa tobong gamping untuk digunakan sendiri.

Meski hampir setiap hari menghirup debu baik dari pembakaran maupun gamping, Palio mengaku pernafasannya tidak terganggu. Menggunakan jamu tradisional seperti sambiloto yang direbus agar tubuhnya tetap bugar.

"Saya menyewa tempat ini, tobong gamping ini berdiri sudah sejak lama," kata Palio.

"Sesak yang kadang, tetapi kalau lemes ya tidur saja. Sekarang hanya beberapa orang yang membantu karena sulit mencari pekerja," kata dia

Selama 10 hari dirinya mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 500.000. Palio menerima pesanan dari berbagai kota seperti kota Yogyakarta. Dia mengaku tidak mengetahui digunakan untuk apa.

Adapun untuk gamping per karung seberat 25 kilogram dijual Rp 10.000. Sementara untuk yang masih ada batu 1 tonnya Rp 1.000.000.

Pemilik tobong gamping lainnya, Wardoyo mengatakan, miliknya sudah dikelola oleh beberapa generasi. Tobong gamping miliknya memang cukup besar dibandingkan dua tobong gamping di sekitarnya.

Meski ada gempuran batu giling, dirinya tetap mempertahankan tobong miliknya. Apalagi saat ini, lesunya permintaan, hingga paceklik regenerasi pekerja menjadi tantangan tersendiri.

"Kasihan tetangga, mereka perlu bekerja," kata Wardoyo.

Tobong gamping miliknya pernah ikut disurvei untuk dijadikan contoh replika di bundaran siyono, sebagai pengganti patung kendang. Hal inilah yang membuat dirinya semakin semangat untuk tetap mempertahankan.

Penolakan Penggantian Tobong Gamping

Hari ini dari Aliansi Rakyat Gunungkidul (ARG) menggelar penolakan pembangunan tobong gamping. Puluhan orang membawa keranda ini melakukan aksi jalan kaki dari Pasar Pring, menuju ke alun-alun Kota Wonosari.

Mereka membawa tulisan penolakan terhadap penggantian ini.

"Ketika wakil rakyat sudah tidak didengarkan, ini merupakan aksi penolakan terhadap pendirian replika tobong gamping di bundaran Siyono," kata koordinator ARG Ervan Bambang. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/09/27/201331778/mengenal-tobong-gamping-calon-ikon-gunungkidul-yang-baru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke