Salin Artikel

Hubungan 3 Bangunan di Sumbu Filosofi Yogyakarta, Apa Maknanya?

KOMPAS.com - Sumbu Filosofi Yogyakarta adalah sumbu imajiner berupa garis lurus yang ditarik dari tiga buah bangunan yaitu Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig).

Sumbu Filosofi Yogyakarta diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwono I saat mulai membangun Kota Yogyakarta pada tahun 1755 setelah terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.

Dilansir dari laman kratonjogja.id, Sri Sultan Hamengku Buwono I merancang penanda (tetenger) yang menjelaskan berbagai hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Sumbu yang berada dalam satu garis lurus menghubungkan bangunan Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) dengan filosofinya masing-masing.

Jalan yang menghubungkan ketiga bangunan juga membentang dari utara hingga selatan dan membentuk sebuah garis lurus.

Ketiga bangunan tersebut ternyata menjadi simbol siklus hidup berdasarkan konsepsi dalam falsafah Jawa yaitu “Sangkan Paraning Dumadi” atau gambaran asal dan tujuan hidup manusia.

Hubungan tiap bangunan pada Sumbu Filosofi Yogyakarta

Seperti diketahui, tata letak Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih memiliki filosofi tersendiri.

Dilansir dari laman kratonjogja.id, bagian perjalanan dari Panggung Krapyak menuju keraton mewakili konsepsi sangkan (asal).

Sementara perjalanan dari Tugu Pal Putih menuju ke keraton mewakili filosofi paran (tujuan). Yaitu perjalanan manusia menuju Penciptanya.

Berikut arti atau makna masing-masing bangunan sesuai proses kehidupan manusia.

1. Perjalanan dari Panggung Krapyak ke Keraton Yogyakarta

Panggung Krapyak berlokasi kurang lebih 2 km dari Keraton Yogyakarta dengan bentuk segi empat berukuran tinggi sekitar 10 meter, lebar 13 meter, dan panjang 13 meter.

Panggung Krapyak dahulu digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan prajurit atau kerabatnya dalam berburu (ngrapyak) rusa.

Dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta, secara simbolis Panggung Krapyak memiliki makna yaitu awal kelahiran dari rahim ibu hingga beranjak dewasa.

Filosofi ini diwujudkan dengan keberadaan Kampung Mijen di sebelah utara yang namanya berasal dari kata “wiji” (benih), keberadaan pohon asem dengan daun yang masih muda bernama sinom dari kata anom (muda) yang selalu nengsemake (menarik hati) dan pohon tanjung yang meambangkan anak muda yang selalu disanjung.

Memasuki kompleks Keraton Yogyakarta sebelah selatan, terdapat Alun-Alun Selatan melambangkan manusia yang telah cukup dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis. Hal tersebut dilambangkan dengan keberadaan pohon kweni dan pohon pakel.

Sementara di bagian utaranya terdapat Siti Hinggil Kidul yang kini dikenal sebagai Sasana Hinggil Dwi Abad dengan pohon pelem cempora berbunga putih dan pohon soka berbunga merah yang menggambarkan bercampurnya benih laki-laki dan benih perempuan.

Di kiri dan kanan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan memutar yang bernama Pamengkang, yang melambangkan gerbang menuju rahim.

Lebih ke utara, terdapat kompleks Kamandhungan yang berasal dari kata kandungan yang menjadi simbol sukma atau janin yang menunggu dilahirkan.

Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.

Oleh karena itu pada bagian kiri dan kanan Kemagangan terdapat kampung Sekul Langgen dan Gebulen, tempat tinggal Abdi Dalem yang bertugas sebagai juru masak keraton.

Lokasi kampung itu memiliki makna bahwa anak yang sedang tumbuh memerlukan asupan makanan yang cukup.

Di sekitar area tersebut juga ditanami pohon jambu dersana (kaderesan sihing sasama) yang bermakna keteladanan bagi sesama (sinudarsana).

Filosofi sangkan kemudian berhenti di tempat ini karena telah sampai pada simbol di mana anak telah tumbuh menjadi manusia dewasa.

2. Perjalanan dari Tugu Pal Putih (Tugu Golong Gilig) ke Keraton Yogyakarta

Filosofi paran dimulai dari Tugu Pal Putih atau disebut juga Tugu Golong Gilig menuju ke arah selatan yaitu menuju Keraton Yogyakarta.

Tugu Golong Gilig pada masa lalu tidak memiliki bentuk yang sama dengan yang ada saat ini.

Tugu yang asli rusak akibat gempa pada tahun 1867 yang kemudian dibangun kembali dengan bantuan pemerintah Hindia-Belanda.

Karena tugu tersebut berwarna putih sebagai lambang kesucian, maka orang Belanda menyebutnya dengan De Witte Paal sehingga kemudian dikenal sebagai Tugu Pal Putih.

Bentuk Tugu Golong Gilig pada masa lalu memiliki puncak tugu berbentuk bola (golong) dan badan tugu berbentuk kerucut terpancung yang berbentuk bulat panjang (gilig) dengan ketinggian 25 meter.

Filosofi yang ada pada Tugu Golong Gilig adalah “golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik” atau bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta.

Keberadaan Tugu Golong Gilig adalah lambang perjalanan seorang manusia dalam melaksanakan proses kehidupannya.

Posisi Tugu Golong Gilig diapit oleh dua desa, yaitu Pingit (menyimpan) di Barat dan Gondolayu (bau mayat) di timur.

Makna penamaan kedua desa ini adalah bahwa ketika manusia hendak memulai perjalanan menuju Sang Pencipta, maka yang harus dilakukan adalah meninggalkan hal-hal yang berbau busuk.

Kemudian terdapat empat buah jalan yang terbentang dari utara ke selatan berturut-turut yaitu Jalan Margatama, Jalan Malioboro, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan.

Makna Jalan Margatama adalah jalan menuju keutamaan, Jalan Malioboro (Maliabara) berarti penggunaan “obor” sebagai penerang, yaitu ajaran para wali, Jalan Margamulya berarti jalan menuju kemuliaan, dan Jalan Pangurakan yang berarti manusia harus bisa mengusir (ngurak) nafsu-nafsu yang buruk

Sepanjang tepian Jalan Margatama hingga Jalan Margamulya ditanami pohon asam (asem) yang melambangkan sengsem (ketertarikan) dan pohon gayam yang melambangkan ayom (ketenangan).

Kemudian perjalanan akan memasuki kawasan Alun-Alun Utara, di mana kata kata alun (ombak) menggambarkan berbagai gelombang yang dihadapi manusia sebelum kembali kepada Penciptanya dan diwujudkan dalam bentuk pasir yang mengelilingi area tersebut.

Memasuki area Keraton, terdapat Siti Hinggil Lor yang ditanami pohon gayam, kepel, dan kemuning.

Pohon kepel bermakna sebagai tangan yang mengepal melambangkan tekad dan kemauan untuk bekerja sebagai manusia dewasa.

Pohon kemuning bermakna sebagai ning (keheningan) sebagai lambang kesucian dan pikiran yang jernih.

Perjalanan dilanjutkan ke area Kamandhungan Lor atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pelataran Keben yang ditanami pohon keben dengan makna tangkeben atau menutup.

Filosofinya adalah pada usia senja, perjalanan manusia harus bisa menutup segala tingkah laku yang kurang elok.

Setelah itu di bagian selatan terdapat pelataran Srimanganti dengan bangunan Bangsal Trajumas.

Traju berarti timbangan, dan mas berarti logam mulia yangmelambangkan bahwa manusia akan ditimbang amal baik dan buruknya di alam penantian (manganti) menuju keabadian.

Alam keabadian di dalam Keraton Yogyakarta diwakili dengan adanya pelita Kyai dan Nyai Wiji yang disimpan di Gedhong Prabayeksa, di dalam kompleks Kedhaton.

Kedua pelita itu dijaga hingga tidak pernah padam sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang dengan apinya diambil dari sumber api abadi Mrapen.

Di halaman Kedhaton, ditanam pohon sawo kecik yang berarti perbuatan sarwo becik (serba baik), pohon jambu klampok arum yang berarti bersikap “harum”, baik dalam ucapan dan tindakan, serta pohon kantil dengan makna kemantil-mantil atau selalu teringat (untuk berbuat baik).

Konsep atau filosofi mengenai paran yang ditarik dari Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih pun berakhir di sini.

Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta bagi seorang Sultan

Khusus bagi seorang Sultan, poros ini memiliki makna berbeda yaitu dimulai dari arah Keraton menuju Tugu Golong Gilig dan dari arah Keraton menuju Panggung Krapyak.

Dari arah Keraton, Sultan akan bermeditasi dengan duduk siniwaka di Bangsal Manguntur Tangkil yang berada di Siti Hinggil Lor, dengan arah pandang ke Tugu Golong Gilig.

Karena itu Tugu Golong Gilig juga disebut sebagai simbol yang melambangkan Manunggaling Kawula Gusti.

Bentuk Tugu yang mengarah ke atas merupakan simbol meleburnya kawula atau rakyat dan gusti atau Sultan, sekaligus kawula dalam makna manusia (termasuk Sultan) dan Gusti yang berarti Tuhan.

Bentuk kewajiban Sultan kepada rakyat digambarkan pada fasilitas masyarakat berupa fasilitas ekonomi yaitu Pasar Beringharjo, fasilitas pemerintahan berupa Kompleks Gedung Kepatihan, dan pengayoman spiritual dicerminkan dengan keberadaan Masjid Gedhe.

Sementara bagi seorang sultan, arah dari Keraton menuju Panggung Krapyak melambangkan area akhir (pungkuran).

Keberadaan sebuah pintu gerbang di bagian selatan kompleks Keraton Yogyakarta yaitu Plengkung Nirbaya (Plengkung Gading) merupakan jalan menuju tempat peristirahatan terakhir para Sultan di Pajimatan Imogiri.

Oleh karena itu, ada larangan bagi setiap Raja atau Sultan yang bertahta maupun keluarga untuk melewati pintu gerbang atau plengkung tersebut semasa hidup.

Sumber:
kebudayaan.kemdikbud.go.id 
www.kratonjogja.id 
kratonkec.jogjakota.go.id/ 
jogja.tribunnews.com 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/09/15/165426678/hubungan-3-bangunan-di-sumbu-filosofi-yogyakarta-apa-maknanya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke