Salin Artikel

Kisah Mi Lethek Satu-satunya di Borobudur, 30 Tahun Bertahan di Tengah Gempuran Mi Instan

MAGELANG, KOMPAS.com - Siswandi (68) menjadi satu-satunya produsen mi lethek yang ada di Dusun Tuksongo, Desa Tuksongo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Di tengah gempuran produk-produk mi pabrik, mi berbahan tepung aren ini masih bertahan dan tetap digemari pelanggan.

Mi jenis mi soun ini memang tidak begitu familiar secara luas. Sebagian orang mungkin tidak menyukai karena warnanya cenderung kecokelatan, tidak putih bersih layaknya soun pabrikan.

Ini sesuai dengan namanya, lethek, yang artinya kotor atau kusam dalam bahasa Indonesia.

Siswandi mengatakan, mi terlihat kecoklatan bukan berarti tidak higienis, namun karena terbuat dari bahan tepung aren tanpa bahan pengawet maupun bahan kimia lainnya. Proses pembuatannya juga masih konvensional. 

Tepung aren

Proses membuat mi lethek dimulai dari perendaman tepung aren selama sehari semalam.

Rendaman tepung kemudian diaduk tiap pagi dan sore selama 4 hari. Sambil diaduk, larutan tepung dibersihkan dari kotoran sisa-sisa penggilingan aren. 

"Setelah direndam kemudian diaduk terus dan diganti air agar baunya hilang, kotorannya juga (akan hilang)," ujar Siswandi, Jumat (26/8/22). 

Larutan air yang bercampur tepung itu kemudian direbus. Setelah mendidih, larutan perlahan akan menggumpal menjadi adonan lengket mirip lem, atau papeda, makanan khas Papua. 

Adonan ini kemudian dipres menggunakan alat hidrolik berpenggerak motor listrik. Adonan yang keluar dari alat hidrolik berupa sulur-sulur panjang, kemudian diletakkan pada wadah panjang berbahan seng. 

Selanjutnya dijemur di bawah terik sinar matahari agar adonan kering. 

"Kalau sedang panas terik, cukup dijemur 1 hari sudah kering. Apalagi wadahnya seng jadi lebih cepat kering. Tapi kalau musim hujan, kami terpaksa libur dulu, tidak produksi," ungkapnya.

Memenuhi tuntutan konsumen, Siswandi mengubah teknik mengaduk tepung yang semula dilakukan dengan cara diinjak-injak. Sekarang mengaduk tepung menggunakan mixer yang lebih higienis.   

Siswandi bercerita, ia sudah menekuni produksi mi lethek sejak 30 tahun lalu. Dahulu banyak warga Desa Tuksongo yang memproduksi tepung dari olahan batang pohon aren. Kala itu di sekitar Borobudur masih banyak pohon aren.

Pohon aren (Arenga pinnata) memiliki tekstur batang yang mirip dengan pohon sagu (Metroxylon sagu rottb). Bagian inti batang kedua pohon ini dapat diolah menjadi tepung.

"Setiap hari kira habis 400 kilogram tepung aren. Dari setiap 100 kilogram tepung, menjadi 70 kilogram mi lethek kering," sebut Siswandi.  

Warga dahulu menjual tepung aren itu ke pasar-pasar di daerah Yogyakarta. Namun seiring waktu, usaha penggilingan tepung aren ditinggalkan oleh warga Tuksongo. Mereka mulai mengenal tanaman tembakau yang hasil panennya dianggap lebih menggiurkan.

Pohon aren yang melimpah pun dibabat habis berganti dengan perkebunan tembakau dan tanaman lainnya. Ini juga mengakibatkan tidak adanya regenerisasi usaha pengolahan tepung aren. 

"Makanya karena pohon aren sudah tidak ada di sini, penggilingan tepung juga tidak ada, saya beli tepung aren ke Banjarnegara untuk bikin mi lethek ini. Harganya Rp 11.100 per kilogram," sebut Siswandi, sembari menyebut sekali beli bisa mencapai 1,5 ton tepung aren. 

Masih diminati

Mi lethek cap "Candi" sampai saat ini masih diminati pelanggan, terutama para pedagang makanan mi khas jawa. Mi lethek kering juga banyak dicari ketika musim hajatan. 

Dia biasa menjual satu bal mi lethek kering seharga Rp 125.000 per bal. Dia sudah memiliki pelanggan tetap di beberapa pasar di wilayah Magelang, Purworejo, bahkan sampai Wonosobo. Pembuatan mi berbahan tepung aren belum banyak dilirik orang sehingga nyaris tanpa pesaing.

Siswandi juga tidak merasa khawatir dengan harga tepung gandum global yang meroket akibat konflik Ukraina-Rusia. Gempuran produk-prouduk mi instan juga tidak mempengaruhi penjualan mi lethek buatannya. 

Siswandi mengaku tidak pernah menghitung secara pasti berapa omzetnya setiap hari. Dari usaha, Siswandi mengaku bisa menghidupi keluarganya, dan membeli beberapa bidang tanah, bahkan menyekolahkan kelima anaknya hingga perguruan tinggi. Termasuk memperkerjakan 5 orang karyawannya. 

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/08/28/084009778/kisah-mi-lethek-satu-satunya-di-borobudur-30-tahun-bertahan-di-tengah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke