Salin Artikel

Sejarah Jemparingan, Olahraga Panahan yang Ada Sejak Sri Sultan HB I

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Lomba Jemparingan Mataram digelar di Alun-alun Kidul, Kota Yogyakarta. Jemparingan Mataram adalah olahraga panahan tradisional dari Yogyakarta.

Berbeda dengan panahan modern, para peserta jemparingan menggunakan busana adat Yogyakarta dan duduk bersila saat melepaskan anak panah.

Uniknya, ketika pemanah mengincar target, anak busur panah tidak ditegakkan secara vertikal dan membidik didekatkan mata. Pada Jemparingan, busur panah dipegang dengan cara horisontal dan anak panah ditarik hingga depan dada barulah anak panah dilepaskan.

Sejarah Jemparingan Mataram

Awalnya Jemparingan mulai ada pada masa Sultan Hamengku Buwono I (HB I).

Saat awal menjabat sebagai Raja Keraton Yogyakarta, Sultan HB I mendirikan sebuah sekolah untuk rakyat pada tahun 1757 masehi, 2 tahun setelah perjanjian Giyanti.

Jemparingan adalah salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu.

Tata cara memanah Jemparingan yang berbeda dari panahan modern ini memiliki nilai falsafah tersendiri. Pamentanging gandewa pamantanging cipta yang memiliki makna mengutamakan konsentrasi. Cipta artinya adalah rasa.

"Jadi kalau kita lihat sasaran yang dilihat adalah dengan matahati bukan dengan mata fisik. Mata fisik hanya perkiraan di sana (target). Yang harus hidup hati kita," kata Kerabat Keraton Yogyakarta Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat, saat ditemui di Alun-alun Kidul Kota Yogyakarta, Sabtu (30/7/2022).

Falsafah yang diajarkan oleh Sri Sultan HB I kepada murid-muridnya bertujuan agar saat murid beribadah atau melaksanakan shalat, murid dapat merasakan bahwa Allah itu ada.

Oleh sebab itu, Sri Sultan HB I mengutamakan perasaan yang dilatih kepada murid-muridnya.

Lomba Jemparingan kali ini bertajuk Piala Ekalaya, peserta dibagi menjadi 3 kategori Dewasa Pria, Dewasa Perempuan, dan anak-anak.

Para peserta menggunakan pakaian jawa lengkap dengan blangkon khas Yogyakarta bagi dewasa pria maupum anak-anak pria. Sedangkan untuk kelas perempuan para peserta mengenakan sanggul.

Pukul 09.00 para peserta telah datang di Alun-alun kidul, busur panah beserta anak panah dimasukkan pada sebuah tempat yang berbentuk silinder.

Para peserta duduk bersila di bawah tenda dengan diberi alas berupa kayu dan dilapisi alas seperti tikar. Duduk bersila mereka mulai konsentrasi, saat juri menyerukan mulai mereka satu persatu melesatkan anak panah ke sasarannya.

Busur panah terbuat dari kayu dengan panjang yang berbede tiap pesertanya, sedangkan anak panah juga terbuat dari kayu dengan ujung berupa seperti timah yang tajam.

Sasaran berbentuk silinder di bagian tengah dibalut kain berwarna putih, lalu di bagian atas dibalut warna kuning dan merah. Di bawah sasaran yang berbentuk silinder terdapat bola kecil, para peserta tidak diperbolehkan mengenai bola ini.

Jika, peserta berhasil mengenai sasaran yang berwarna merah mendapatkan nilai 3, sasaran berwarna kuning bernilai 2, sasaran warna putih bernilai 1, sedangkan jika mengenai bola peserta mendapatkan nilai minus.

Setiap sesi peserta mendapatkan kesempatan menembakkan anak panah sebanyak 4 kali, setelah selesai mereka berdiri dari duduk silanya dan berdiri, berjalan menghampiri untuk ambil anak panah.

Para peserta dalam lomba ini tidak hanya dari Daerah Istinewa Yogyakarta (DIY) tetapi juga dari luar DIY seperti Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Peserta dari Jawa Barat tepatnya dari Sumedang Roni Hidayat mengaku baru satu kali ini mengikuti lomba Jemparingan dan dia senang mengikuti lomba ini.

Berbeda dengan peserta lainnya yang menggunakan pakaian adat Yogyakarta ia menggunakan pakaian adat Jawa Barat.

Roni mengungkapkan di Sumedang juga terdapat olahraga panahan tradisional yakni Kasumedangan. Tetapi ada yang berbeda pada Kasumedangan dan Jemparingan, yakni ukuran busur Kasumedangan lebih kecil.

"Ukuran busur dan anak panah lebih kecil, dan jarak sasaran pada Kasumedangan 50 meter di sini Jemparingan 30 meter," katanya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/07/31/093924978/sejarah-jemparingan-olahraga-panahan-yang-ada-sejak-sri-sultan-hb-i

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com