Salin Artikel

Keluarga Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul Lega Akhirnya Pernikahannya Diakui Negara

YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Seperti biasa Sarjiyana (50) membuka tokonya tepat di pinggir jalan menuju Pantai Ngrenehan, tepatnya di Padukuhan Gondang, Kalurahan Kepek, Kapanewon Saptosari, Gunungkidul, DI Yogyakarta.

Toko kelontong ini menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Menyusuri jalanan corblok sejauh 50 meter, sampailah di rumah Sarjiyana.

Di rumah itu, ada ruangan berukuran sekitar 2x2 meter yang disebut Sanggar Pamelengan, yang digunakan keluarga kecil ini untuk berdoa.

Setiap waktu tertentu dalam penanggalan Jawa, keluarga ini menjalankan ritual di sanggar Pamelengan miliknya.

Ruangan kecil ini selain untuk keluarga juga digunakan beberapa warga yang menganut Kejawen Urip Sejati.

"Di sini itu tinggal 4 kepala keluarga yang masih menganut kepercayaan asli nenek moyang (kejawen urip sejati)," kata dia.

Nikah 8 tahun baru dicatat

Sarjiyana menceritakan, dirinya sebenarnya asli lahir dan besar dari kawasan Pantai Parangkusumo, Bantul.

Sejak kecil dia dan orangtuanya adalah penganut penghayat. Saat remaja, dirinya diperkenalkan kepada Padepokan Grinda Pancasila Mawahyu Buwana pada tahun 1993.

Semakin tumbuh besar, dia mengetahui tentang Kejawen Urip Sejati dikenalnya sebagai 'lelaku hidup' dalam ajaran aliran kepercayaan.

"Palang Putih Nusantara (PPN) ini sebagai kendaraan yang dipakai berjuang untuk mendapatkan hak kami," ucap Sarjiyana ditemui di rumahnya Selasa (7/6/2022).

Dalam paguyuban PPN dilakukan pertemuan dan kegiatan rohani. Dirinya pun bertemu Sartini (37) yang resmi secara Kejawen menjadi istrinya pada tahun 2002 lalu.

Keduanya menjalani mahligai rumah tangga, 2 tahun kemudian lahirlah anak pertamanya di tahun 2002.

Pengakuan pernikahan baru didapatkan pada tahun 2010 atau 8 tahun usia pernikahannya.

"Akta anak saya yang pertama itu masih anak dari ibu, lalu setelah pernikahan resmi dilakukan pencatatan di sipil (Dinas Catatan Sipil)," kata Sarjiyana

"Sekarang di akta anak saya yang pertama ada tambahan di belakang sebagai pengakuan. Kalau diganti bisa ndak ya?" tanya dia.

Soal pendidikan anak, dirinya tak khawatir karena saat ini di sekolah anaknya SMKN 1 Kasihan, sudah mengikuti pendidikan sesuai kepercayaan yang dianut.

Sementara untuk 2 orang anaknya yang saat ini duduk di bangku SD kelas 1 dan 3 masih mengikuti pelajaran agama yang lain.

Namun demikian, Sarjiyana tidak mempermasalahkan karena di rumah dirinya tetap mengajarkan kepercayaan yang sudah dipegang teguhnya selama ini.

Mengikis perbedaan dengan hidup berdampingan

Sarjiyana mengaku awalnya dirinya sempat mengisi kolom agama dengan agama yang diakui negara pada kala itu, meski dirinya tak ingat tahun berapa.

Lalu, ia mengisi kosong kolom agama dan akhirnya bisa mengisi kolom kepercayaan beberapa tahun lalu.

"Akhirnya plong ini perjuangan kami untuk diakui negara," kata dia.

Meski kepercayaannya akhirnya diakui negara, dia mengatakan tidak ada warga yang menganggapnya 'berbeda' dengan yang lain.

Dirinya pun merasa tak berbeda dan membaur bersama warga lainnya mulai dari gotong royong hingga membangun rumah ibadah warga sehingga rasa 'berbeda' itu sudah tidak ada.

"Sambatan dan yang lainnya saya selalu ikut. Jadi sudah tidak ada perbedaan dengan yang lain. Warga di sini baik semua, memperlakukan sama seperti warga lainnya," kata dia.

Sartini pun mengatakan yang sama, tak ada perbedaan perlakuan di masyarakat, mereka hidup berdampingan dengan warga lainnya.

"Saya ya biasa saja, tidak ada perlakuan yang berbeda di masyarakat meski mereka tahu kepercayaan saya berbeda," kata dia.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/06/09/051500178/keluarga-penghayat-kepercayaan-di-gunungkidul-lega-akhirnya-pernikahannya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke