Salin Artikel

Padukuhan Wotawati di Aliran Bengawan Solo Purba, Kala Sinar Matahari Lebih Singkat Dibandingkan Daerah Lain...

Sebelum ada perubahan aliran sungai ini karena adanya pengangkatan tektonik, jutaan tahun silam, Bengawan Solo bermuara di pantai Sadeng, Kapanewon Girisubo, Gunungkidul, DI Yogyakarta.

Jejak Bengawan Solo Purba adalah jajaran perbukitan karst yang kini masuk sebagai Geopark Gunung Sewu Network oleh UNESCO di konfrensi Asia Pasific Global Network di Sanin, Kaigan, Jepang pada 2015 lalu.

Bekas aliran kini sebagian besar menjadi lahan pertanian, namun ada satu wilayah yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal, yakni di Padukuhan Wotawati, Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo.

Untuk menuju ke Padukuhan Wotawati jika dari Kota Wonosari melalui jalur menuju Rongkop, dan melalui jalur jalan lintas selatan (JJLS) menuju Kapanewon Girisubo, dan masuk menuju Padukuhan Wotawati kurang lebih 36 km atau hampir 1 jam menggunakan sepeda motor.

Masuk ke wilayah Padukuhan Wotawati harus ekstra hati-hati karena berada di lembah dengan kontur jalan menurun cukup curam, jalannya hanya cor blok, dan belum pernah diaspal.

Tak banyak lalu lalang kendaraan, hanya beberapa warga yang membawa sepeda motor dengan jok belakang diisi pakan ternak atau hasil kebunnya.

Padukuhan ini sebelah selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia, timur dan utara Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

"Beginilah kondisi padukuhan kami Mas," kata Dukuh Wotawati, Robby Sugihastanto (27) saat ditemui di rumahnya Kamis (24/3/2022).

Robby baru saja mencari pakan ternak dari ladang yang tak jauh dari rumahnya.

Memang sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, sebagian lainnya memilih untuk merantau. Total ada 82 kepala keluarga yang tinggal dengan total sekitar 450 jiwa.

"Di sini sebagian besar kartu KK-nya masih tempel. Banyak juga yang merantau. Saya saja, 8 tahun merantau dan pulang mendaftar dukuh dan kebetulan jadi baru setahun terakhir," kata dia.

Robby menceritakan, dari cerita turun temurun, padukuhan di aliran Sungai Bengawan Solo purba tersebut ada seseorang yang bercocok tanam di aliran tersebut dan membuat gubug ratusan tahun silam.

"Dan mereka mulai berkeluarga di sini. Jadi mereka menetap di sini bertahun-tahun dan terjadilah kampung Wotawati," kata dia.

"Dulunya di sini sebagai aliran sungai Bengawan Solo purba. Jadi ya ibaratnya kalau dipikir tidak percaya kok ada Dusun di sebuah lembah Bengawan Solo purba yang diapit gunung-gunung," ucap Robby.

Berada di lembah membuat keunikan tersendiri, karena untuk menikmati teriknya matahari berbeda dengan wilayah lainnya.

"Sinar matahari di sini agak terlambat, ibaratnya di lain dusun setengah 7 atau jam 7 pagi sudah kena sinar matahari. Nah, kalau di sini belum, baru kena sinar matahari sekitar jam 8, setengah 9 pagi," kata Robby

"Kalau sore di sekitar jam setengah 5 sudah mulai gelap. Karena terhalang oleh gunung-gunung di samping dusun," kata dia.

Memang ketika Kompas.com di sana sekitar pukul 16.16 WIB meski cuaca cerah, namun sama seperti wilayah kota Wonosari, pukul 17.00 WIB sudah agak gelap.

Keterbatasan di Padukuhan Wotawati

Berada di lembah pegunungan karst membuat beberapa keterbatasan warga Padukuhan Wotawati.

"Di sini memanfaatkan air hujan. Sebenarnya ada 4 sumur dengan kedalaman 4-5 meter. Tapi kalau ngebor lagi di titik lain jarang ada yang keluar airnya," ucap Robby.

"Pernah coba mengebor sumur ternyata di bawah itu kayak ada aliran, cuma airnya tidak bisa dinaikkan," kata dia

Setiap musim kemarau, mereka membeli air bersih dari tangki swasta dengan harga Rp 130.000 per 5.000 liter air bersih.

Rata-rata setiap keluarga menghabiskan 4 sampai 5 tangki per musim kemarau.

"Sebenarnya untuk PDAM ada 21 titik, tapi dari 21 itu ada 15 titik bermasalah dan tidak kunjung diperbaiki. Jadi selama 3 bulan ini kita bayar beban terus, padahal sama sekali tidam menikmati air PDAM," ucap dia.

Robby mengatakan selain air, sinyal televisi hingga provider cukup sulit.

"Kalau untuk sinyal ya agak susah karena terhalang gunung-gunung itu. Apalagi saat hujan deras," kata dia

"Untuk TV ya harus pakai parabola karena kalau pakai antena biasa tidak bisa," kata Robby.

Salah seorang warga, Sugito (60) mengakui untuk akses infrastruktur masuk di wilayah Wotawati hanya bisa dilalui satu jalan, dan akses masih berupa corblok yang dibangun sejak 1989.

Untuk akses jalan lain yang melalui Telaga suling juga sulit dilalui, dan pihaknya berharap ada pembangunan jalan.

"Belum pernah diaspal. Tahun 1989 mulai corblok secara bertahap," kata Sugito.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/03/25/162850478/padukuhan-wotawati-di-aliran-bengawan-solo-purba-kala-sinar-matahari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke