Salin Artikel

Kecilkan Ukuran, Cara Klasik Perajin Tahu Tempe Kulon Progo Siasati Kenaikan Harga Kedelai

Perajin memang memproduksi tahu dan tempe untuk memenuhi permintaan pasar yang selalu besar.

Hanya saja, produsen kembali menerapkan cara klasik mereka, yakni mengurangi ukuran tahu atau tempe sehingga menjadi lebih kecil.

Cara serupa telah dilakukan di berbagai kenaikan harga kedelai di waktu-waktu lalu.

Sebelum harga kedelai naik, ia memerlukan 8 kilogram kedelai untuk tiap dua cetakan.

Ketika harga kedelai seperti sekarang ini, ia menurunkan kedelai hingga 7,3 kilogram untuk dua cetakan tersebut.

Produksi rumahan Samsuri rata-rata memerlukan satu kuintal kedelai per hari.

Dengan demikian, ukuran tahu semakin kecil. Mereka tidak mengubah harga tahu. Harga per butir di pasar antara Rp 300 – 500 per butir tahu.

“Hanya memainkan di ukuran dan ketebalan. Harga tetap sama,” kata Samsuri di rumah produksi Pedukuhan Wonobroto, Tuksono, Senin (21/2/2022).

Produksi mereka menjangkau pasar Kulon Progo, seluruh daerah di Yogyakarta dan sebagian Purworejo.

Samsuri menceritakan, para perajin ini bukan kali ini saja terjepit kenaikan harga kedelai.

Mereka sudah merasakannya sejak awal pandemi Covid-19. Mereka padahal pernah merasakan harga kedelai Rp 7.000 per kilogram.

Harga berangsur naik, sekalipun saat pandemi. Pembeli menyusut karena penjual makanan tutup, sedangkan pelajar, mahasiswa dan pekerja bekerja dari rumah.

Setelah perjalanan waktu, situasi ternyata belum juga pulih. Harga kedelai bahkan sulit turun ke harga wajar.

Belakangan ini harga kedelai sampai Rp 11.200 per kg. Tanda kenaikan dirasa sejak Desember 2022, belum turun hingga sekarang.

Strategi mengecilkan ukuran juga dilakukan perajin tempe, Sutrisno asal Pedukuhan Sebokarang, Triharjo. Ia pemilik usaha produksi tempe di Pedukuhan Dipan, Wates.

Sutrisno mengaku menghasilkan tempe dalam empat ukuran, baik harga Rp 4.000, Rp 3.000, Rp 2.500 dan Rp 2.000. Ia bisa menghabiskan 4 kuintal kedelai per hari produksi.

Menurutnya, mengubah ukuran lebih baik ketimbang menghentikan produksi sebagaimana di daerah lain.

Pasalnya, 10 orang menggantungkan hidup bekerja pada rumah produksiny.

Selain itu, masyarakat Kulon Progo dirasa adem ayem dan tak ada gejolak akibat perubahan ukuran selama harga masih sama.

“Kami juga punya pekerja. Yang penting jalan. Masyarakat mau dengan keadaan seperti ini, walau agak tipis sedikit. Kami jalan saja. Kami aku berat,” kata Sutrisno.

Pedagang bernama Yovita Sri Wahyuni Sugiarti mengaku, dirinya terus melayani pembelian kedelai seperti biasa.

Gudang milik Yovita ini bisa menjual 80-100 ton kedelai per bulan.

Yovita mengatakan, harga kedelai impor memang tengah tinggi dipengaruhi pasar.

“Soal harga, kita ini sudah manut harganya indeks AS (Amerika Serikat). Hari ini harga muncul sekian, besok jadi sekian,” kata Yovita.

Menurutnya turun naik harga juga dipengaruhi produsen di Amerika Serikat.

Kali ini, kenaikan harga terkait adanya gagal panen di negara penghasil. Harga itu berimbas pada harga kedelai ke Indonesia.

“Ini juga informasi dari importir,” kata Yovita.

Yovita mengatakan harga kedelai eceran dari tempatnya adalah Rp 11.200 per kg.

“Saya langsung dengan importir. Tapi kalau di pasar-pasar bisa lebih tinggi lagi karena kulakannya ke saya,” kata Yovita.

Kedelai lokal sendiri tidak ada. Bila pun ada jumlahnya terbatas dan langsung ludes dibeli.

Situasi berbeda pada 1980-an saat hampir semua daerah pertanian bahkan di luar Jawa bisa berlimpah kedelai.

Kali ini kedelai lokal benar-benar tidak ada sama sekali dan impor jadi solusi.

“Kami minta ke pemerintah untuk kembali menggalakkan pertanian lagi,” kata Yovita.

Berbeda yang dialami pedagang besar kedelai di Toko Bu Ning Sentolo. Ia mengaku mengalami penurunan pembeli sejak harga kedelai terus naik.

“Maka omset turun. Sepi pasar jadinya,” kata Bu Ning.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/02/21/220038578/kecilkan-ukuran-cara-klasik-perajin-tahu-tempe-kulon-progo-siasati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke