Salin Artikel

Sejarah Sistem Penanggalan Jawa, dari Saka ke Kalender Sultan Agungan

Sistem penanggalan Jawa yang ada sekarang merupakan perpaduan dari sistem penanggalan masa lalu yang berdasarkan perputaran matahari, dengan sistem baru yang berdasarkan perputaran bulan.

Adapun sistem penanggalan masa lalu disebut dengan Kalender Saka-Hindu. Sistem penanggalan ini menjadikan putaran matahari sebagai patokan.

Kalender Saka-Hindu

Kalender Saka-Hindu digunakan masyarakat Jawa sebelum masa Mataram Islam. Sama seperti aksara Jawa, Kalender Saka juga dibumbui dengan legenda tokoh besar bernama Aji Saka. Dari tokoh ini pula nama Kalender Saka diambil.

Dalam praktiknya, Kalender Saka yang sejalan dengan masuknya ajaran Hindu-Budha mengalami proses adaptasi dengan sistem penentuan waktu yang sudah digunakan dan khas Nusantara yang disebut dengan sistem Pawukon.

Meski demikian, hingga saat ini belum ada keterangan valid terkait kapan Kalender Saka mulai digunakan di Nusantara.

Penggunaan Tahun Saka yang dianggap tertua ada pada Prasasti Kedukan Bukit dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 605 Saka atau 683 Masehi.

Sistem Kalender Saka sendiri terdiri dari 12 bulan, yang merujuk pada sistem luni-solar. Perbedaan tahun Saka dan Masehi terpaut 78 tahun.

Kalender Jawa-Islam

Masuknya pengaruh Islam ke Nusantara turut mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Salah satu yang turut terpengaruh adalah sistem penanggalan Jawa yang dikenal dengan Kalender Jawa Islam.

Kalender Jawa Islam ditetapkan pada masa Mataram Islam, tepatnya saat Sultan Agung Hanyakrakusuma berkuasa (1613-1645). Sultan Agung adalah raja ketiga dari Kerajaan Mataram Islam.

Perubahan dari Kalender Saka kepada Kalender Jawa Islam berangkat dari fakta Kalender Saka yang bersistem putaran matahari (solar) berbeda dengan penanggalan Hijriyah yang menggunakan putaran bulan atau lunar.

Penggunaan Kalender Saka pada tatanan kehidupan masyarakat yang mulai memeluk Islam sangat besar. Misalnya, perayaan adat keraton yang bernapas Islam tidak bisa selaras dengan perayaan hari besar Islam karena perbedaan sistem penanggalan.

Sementara, sebagai seorang raja yang memeluk Islam, Sultan Agung menghendaki agar perayaan adat keraton bisa selaras dengan perayaan hari besar Islam.

Dari sini muncul gagasan untuk membuat sistem penanggalan baru yang memadukan kalender Saka dengan Hijriyah.

Sistem penanggalan baru ini yang kemudian dikenal dengan Kalender Jawa Islam atau Kalender Sultan Agungan.

Sistem penanggalan Jawa yang baru ini secara angka tahun tetap meneruskan tahun Saka. Namun sistem perhitungannya diubah dari yang berpatokan pada putaran matahari kepada perhitungan berdasarkan putaran bulan.

Pada praktiknya, perubahan ini tidak mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Sebab, perubahan tidak dilakukan dengan memutus perhitungan dari tatanan lama yang sudah digunakan masyarakat.

Siklus Hari dan Bulan pada Kalender Sultan Agungan

Sebagaimana layaknya sistem penanggalan, Kalender Jawa Islam atau Kalender Sultan Agungan juga memiliki siklus hari dan bulan.

Siklus hari pada Kalender Jawa Islam terdiri dari tujuh hari (saptawara) dan lima hari pasaran (pancawara).

Saptawara terdiri dari Ngahad (Dite), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Buda), Kemis (Respati), Jemuwah (Sukra), dan Setu (Tumpak).

Sementara pancawara atau hari pasaran Jawa terdiri dari Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Pahing (Jenar), Pon (Palguna), dan Wage (Cemengan).

Sedangkan siklus bulan pada sistem penanggalan Jawa Islam terdiri dari 12 bulan. Berbeda dengan Kalender Saka, pada sistem yang baru ini nama-nama bulan diserap dari bahasa Arab.

12 bulan dalam kalender Jawa Islam yaitu Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Umur tiap bulan antara 29 atau 30 hari.

Satu tahun dalam Kalender Jawa Islam ini berumur 354 3/8 hari. Terdapat siklus delapan tahunan yang disebut dengan windu, dan masing-masing memiliki nama yaitu Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Tahun Ehe, Dal, dan Jimakir.

Jimakir memiliki umur 355 hari, dan dikenal sebagai tahun panjang atau Taun Wuntu. Sementara tahun yang lain berumur 354 hari yang disebut tahun pendek atau Taun Wastu.

Sumber:
Indonesia.go.id
Kratonjogja.id

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/01/09/223139478/sejarah-sistem-penanggalan-jawa-dari-saka-ke-kalender-sultan-agungan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke