Salin Artikel

Sejarah Malioboro, Jalan yang Dihiasi Untaian Bunga

KOMPAS.com - Banyak orang berkata belum ke Yogyakarta kalau belum mampir ke Malioboro.

Jalan Malioboro adalah kawasan wisata di pusat Kota Yogyakarta.

Di sana, para pelancong bisa berbelanja aneka makanan khas Yogyakarta, pernak-pernik, batik, dan lain-lain.

Wisatawan yang ingin mencari hal-hal tradisional maupun membeli oleh-oleh khas Yogyakarta sepertinya bisa berkunjung ke Pasar Beringharjo, yang terletak di Jalan Malioboro.

Apabila ingin berwisata sejarah, di area Malioboro juga terdapat Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Di ujung jalan Malioboro juga terdapat Istana Kepresidenan Yogyakarta atau dikenal dengan Gedung Agung.

Jika dirasa lelah berjalan kaki, pelancong bisa menumpang andong. Kendaraan tradisional ini banyak ditemui di area Malioboro.

Beberapa orang mungkin mengira kalau sejarah penamaan Malioboro diambil dari kata "Marlborough" yang berasal dari gelar "1st Duke of Marlborough".

Gelar itu disematkan kepada jenderal terkenal asal Inggris, John Churchill.

Sekilas memang terdengar sama.

Namun, hal itu disanggah oleh Dr. O. W. Tichelaar lewat tulisannya "The Derivation from Sanskrit of the Streetname Malioboro in Yogyakarta".

Dikutip dari jurnal "Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941" karya Siti Mahmudah Nur Fauziah, Tichelaar mengemukakan bahwa Jalan Malioboro tidak pas untuk dinamai seperti gelar seorang jenderal Inggris, yang notabene adalah orang asing di mata masyarakat Jawa.

Pasalnya, Malioboro merupakan bagian dalam sumbu filosofis Yogyakarta, sebuah jalan atau garis membentang lurus yang menghubungkan Tugu Pal Putih, Keraton Yogyakarta, dan Panggung Krapyak.

Garis imajiner ini disebut memiliki makna mendalam.

Sejarawan Inggris, Peter Carey, dalam bukunya "Asal Usul Nama Yogyakarta-Malioboro", mengutip pernyataan Tichelaar yang menerangkan bahwa penamaan Malioboro diperkirakan berkaitan dengan bahasa Sanskerta, yakni "malya" yang berati "untaian bunga".

Adapun "dihiasi untaian bunga" disebut dengan "mâlyabhara". Ini berkaitan dengan konsep seremoni.

Carey menyebut jalan tersebut sebagai “rajamarga” atau jalan kerajaan atau jalan raya seremonial. Malioboro yang membentang lurus dan membelah kota digunakan sebagai tempat masuknya para tamu, seperti gubernur jenderal dan pejabat tinggi sipil dan militer Eropa yang berkunjung ke Keraton.

“Pada kesempatan ini, peran Jalan Malioboro sebagai jalan raya prosesi ditekankan melalui pendirian “lengkungan kemenangan”, melalui kehadiran dua barisan prajurit Jawa bersenjata tombak yang berdiri berbaris di sepanjang keseluruhan rute, dan oleh orkestra Jawa (gamelan) yang dimainkan pada saat para pembesar Eropa mendekat,” tutur Carey.

Ia menuturkan setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Jalan Malioboro kadang kala digunakan untuk parade seremonial.

Dalam tulisannya "Dari Jalan Kerajaan Menjadi Jalan Pertokoan Kolonial: Malioboro 1756-1941", Siti Mahmudah Nur Fauziah mengatakan Jalan Malioboro diperkirakan telah ada sebelum Keraton Yogyakarta terbentuk pada 7 Oktober 1756.

Jalan yang membentang dari utara ke selatan ini menjadi penghubung menuju Pesanggarahan Gerjitawati atau disebut juga Ayogya/Ayodhya.

Kini, tempat tersebut diperkirakan menjadi lokasi istana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Jalan tersebut kerap dilalui oleh rombongan Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura yang membawa jenazah raja atau keluarga kerajaan.

Sebelum dimakamkan di kompleks permakaman Imogiri, mereka akan singgah dulu di Pesanggarahan Gerjitawati.

Sebagai penghubung garis filosofis Panggung Krapayak-Keraton-Tugu Golong Gilig (Tugu Pal Putih), Malioboro menyimpan makna mendalam, yakni sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan hidup.

Siti yang mengutip "Buku Profil Yogyakarta 'City of Philosophy'" karya Umar Priyono dkk., menuliskan bahwa dari Panggung Krapayak menuju Keraton Yogyakarta dimaknai sebagai perjalanan manusia, mulai dari kandungan, lahir, beranjak dewasa, menikah, sampai memiliki anak (sangkaning dumadi).

“Sedangkan dari Tugu Golong Gilig ke arah selatan menggambarkan perjalanan manusia ketika hendak menghadap Sang Khalik (paraning dumadi), meninggalkan alam fana (dunia) menuju alam baka (akhirat),” kutipnya.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2021/03/07/120138478/sejarah-malioboro-jalan-yang-dihiasi-untaian-bunga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke