KOMPAS.com - Keraton Yogyakarta dikenal memiliki dua buah alun-alun yang dikenal sebagai Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul.
Kedua alun-alun tersebut dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I saat mendirikan Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahannya antara tahun 1755 M -1792 M.
Baca juga: Alun-alun Selatan Yogyakarta: Sejarah, Fungsi, dan Tradisi Masangin
Meskipun terlihat hampir serupa, ternyata Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul memiliki fungsi dan sejarahnya masing-masing.
Simak penjelasan mengenai perbedaan dari Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul Yogyakarta yang dirangkum Kompas.com dari berbagia sumber.
Baca juga: Alun-alun Utara Yogyakarta: Sejarah, Fungsi, dan Makna Lautan Pasir
Sesuai namanya, kedua alun-alun tersebut memang memiliki perbedaan lokasi
Sesuai namanya, Alun-alun Lor atau Alun-alun Utara berada di sebelah utara atau sisi depan dari Keraton Yogyakarta.
Adapun lokasi Alun-alun Kidul atau Alun-alun Selatan berada di sebelah selatan atau sisi belakang dari Keraton Yogyakarta dan berada di dalam kawasan beteng.
Oleh sebab itu, Alun-alun Selatan juga dikenal dengan nama Alun-alun Pengkeran (Alun-Alun Belakang).
Baca juga: Benteng Baluwerti, Saksi Sejarah Perkembangan Keraton Yogyakarta
Baik Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul Yogyakarta sangat identik dengan keberadaan dua beringin kembar atau pohon beringin kurung yang memiliki namanya masing-masing.
Dua pohon beringin kurung di Alun-alun Lor bernama Kiai Dewadaru dan Kyai Janadaru atau yang sekarang bernama Kyai Wijayadaru.
Menurut Serat Salokapatra, benih Kyai Janadaru berasal dari Keraton Pajajaran, sementara Kyai Dewadaru benihnya berasal dari Keraton Majapahit.
Sementara dua beringin kurung di Alun-alun Kidul dinamakan supit urang dan diberi pagar keliling berupa jeruji dengan gambaran busur dan anak panah.
Hal ini adalah lambang bahwa gadis atau jejaka yang sudah dewasa, akil balik, sudah berani melepaskan isi hati kepada lawan jenisnya.
Pada masa lalu, Alun-alun Lor dan Alun-alun Yogyakarta memiliki fungsi yang berbeda.
Alun-alun Lor pada masa lalu digunakan sebagai tempat latihan para prajurit untuk unjuk kehebatan di hadapan sultan dan para pembesar kerajaan yang menyaksikan dari Siti Hinggil.