Hal ini berbeda dengan tradisi Nyetahuni yaitu selamatan saat sang anak berusia tepat 1 tahun.
Kemudian ada tradisi Gaulan yang diadakan saat sang anak tumbuh gigi untuk pertama kali.
Menjelang akil baligh atau memasuki masa remaja maka akan dilakukan tradisi Supitan atau upacara khitanan untuk anak laki-laki.
Sementara untuk anak perempuan ada pula yang melaksanakan Tetesan sebagai penanda peralihan masa kanak-kanak menuju masa remaja.
Untuk anak perempuan yang menstruasi untuk pertama kali ada juga yang melaksanakan tradisi Tarapan.
Pada fase dewasa, seorang manusia biasanya akan bertemu dengan jodohnya dan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Ragam upacara adat Jawa yang terkait pernikahan sangat banyak dan masih dilestarikan hingga kini.
Prosesi dimulai dari prosesi Lamaran di mana pihak calon pengantin pria akan menyatakan kesungguhannya di depan kedua keluarga.
Kemudian ada upacara Majang dan Pasang Tarub untuk menghias tempat-tempat yang akan dijadikan lokasi pelaksanaan seluruh prosesi, termasuk pemasangan bleketepe dan janur.
Prosesi berikutnya adalah Siraman yang memiliki makna membersihkan atau mensucikan kedua mempelai dari segala keburukan secara lahir dan batin.
Setelah melakukan prosesi siraman, kedua calon mempelai kemudian akan memakai riasan untuk melaksanakan prosesi selanjutnya.
Tradisi selanjutnya adalah Tantingan yakni sebuah prosesi pemanggilan calon mempelai wanita untuk memastikan lagi kemantapan hati dan kesiapannya menikah dengan pria yang telah meminangnya.
Tradisi tersebut akan diikuti dengan acara Midodareni yang berlangsung malam hari sebelum prosesi akad nikah yang dilakukan pada keesokan harinya.
Setelah akad nikah ada pula Upacara Panggih yaitu prosesi bertemunya sepasang pengantin setelah sah menjadi suami istri.
Upacara Panggih dilanjutkan dengan prosesi tampa kaya sebagai simbol tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah dan melimpahkan kesejahteraan kepada sang istri.