YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Gerakan kolektif UNY Bergerak mengelar forum diskusi terkait dengan permasalahan uang kuliah tunggal (UKT).
Di dalam diskusi yang digelar di salah satu cafe di Sleman ini, beberapa mahasiswa UNY menceritakan kisah getir mereka menjadi korban UKT.
Humas UNY Bergerak Opal mengatakan, kegiatan ini menindaklanjuti dari utas yang ditulis oleh Ganta di media sosial.
"Awalnya kita membuat acara ini itu tidak terencana secara sistematis gitu, kemudian thread-nya Ganta itu muncul dan kemudian dari teman-teman UNY bergerak itu merencang sebuah gerakan yang nggak melulu soal demonstrasi," ujar Humas UNY Bergerak,Opal saat ditemui di sela-sela diskusi, Senin (16/01/2023) malam.
Demonstrasi tentang besaran UKT yang mencekik mahasiswa sudah sering dilakukan.
Namun tidak ada perubahan sistem dan UKT tetap saja masih menjadi momok bagi mahasiswa pada setiap semesternya.
"Hal itu sudah bertahun-tahun dilakukan dan kampus sampai hari ini masih bebal sama demonstrasi-demonstrasi. Dan berbagai macam represif ketika demonstrasi itu juga kami rasakan," tandasnya.
Opal mengungkapkan, UNY Bergerak dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi UNY telah melakukan survei.
Hasil survei 97 persen dari 1.000 an mahasiswa yang mengisi survei menyatakan keberatan dengan golongan (UKT) mereka.
Kemudian, berangkat dari survei itu muncul tema yang diusung dalam forum diskusi ini yakni Revolusi Pesawat Kertas. Pesawat kertas ini merupakan simbol dari harapan-harapan.
"Di akhir acara ini ada acara simbolis (menerbangkan) pesawat kertas yang di dalamnya ada kisah-kisah dari teman-teman kita. Harapannya revolusi pesawat kertas ini bisa sebagai simbol harapan bahwa pendidikan harus gratis, murah dan teman-teman yang berhenti kuliah bisa kembali kuliah lagi," ungkapnya.
Baca juga: Mahasiswi UNY dari Keluarga Miskin di Purbalingga Ini Meninggal Saat Perjuangkan Keringanan UKT
Korban ketidaksesuaian nominal UKT dengan kondisi ekonomi keluarga tidak hanya dialami satu orang mahasiswa. Namun ada banyak mahasiswa yang merasakan hal yang sama.
Beberapa mahasiswa itu pun, dihadirkan untuk menceritakan kisah mereka menjadi korban tingginya nominal UKT.
"Dari empat kisah ada yang sampai jual sapi, jual motor, untuk bayar UKT, berutang bank, sampai putus kuliah, bahkan sampai dua semester cuti. Ada yang bekerja part time pun tidak memenuhi membayar UKT. Itu kan ada permasalahan yang sebenarnya sistematis di sini, soal UKT di UNY," jelasnya.
Opal mengungkapkan mungkin orang melihat jika UKT di UNY tidak mahal dibandingkan kampus-kampus lain. Namun, menurut Opal, permasalahan bukan pada mahal dan tidak mahal.
"Ini bukan permasalahan mahal dan nggak mahal. Tapi kesesuaian terhadap kondisi ekonomi orangtuanya yang dipertimbangkan," urainya.
Salah satu tuntutan untuk pihak kampus UNY adalah adanya penyesuaian UKT pada setiap semester. Sebab, kondisi ekonomi keluarga saat ini belum stabil usai terdampak pandemi.
"Ini kan baru dalam transisi pandami ke endemi kan, sedangkan kondisi sosial ekonomi orangtua mahasiswa itu belum menentu, apalagi di 2023 ada kemungkinan resesi. Itu yang kami pertimbangkan harus ada penyesuaian UKT di setiap semester," jelasnya.
Selain itu, harapannya penyesuaian UKT tidak hanya turun satu golongan. Namun penurunanya disesuaikan dengan kondisi real ekonomi keluarga mahasiswa.
"Harapanya enggak cuma satu golongan yang turun. Benar-benar turun seusai kondisi mahasiswa. Kalau memang harus turun satu juta dua juta ya kasihlah," ucapnya.
Forum diskusi ini juga menghadirkan kesaksian-kesaksian dari beberapa mahasiswa UNY yang menjadi korban UKT.
Mereka menceritakan tentang pahit getir kesulitannya membayar UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya.