"Sejak ada Covid-19 sepi. Sampai sekarang juga masih sepi nggak seperti dulu. Sekarang semingu ada, tapi sebulan (ke depan) nganggur. Ya, ini penghasilan utama, karena nggak ada usaha lainnya," ungkap Sholikin.
Ketika ada order servis elektronik, Sholikhin tentu saja senang. Dia rela berbelanja spare part sampai ke Yogyakarta, Semarang, bahkan Solo, menaiki sepeda motor modifikasi.
"Perginya beli spare part sendiri pake motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, yang cocok sama orang cacat," ucap Sholikin.
Tunah mengaku harus berhemat agar kebutuhan sehari-hari tercukupi. Setiap sang suami menerima order jasa reparasi dia belikan beras secukupnya dan bahan lauk pauk, termasuk sabun mandi, cuci dan sebagainya.
Jasa reparasi yang dipatok bervariasi tergantung tingkat kerusakan, kisaran Rp 50.000 sampai Rp 300.000.
"Makan ya seadanya saja, nasi dan lauk seadanya, sudah cukup. Ya, memang harus ngirit banget, karena pendapatan enggak tentu," kata Tunah.
Tapi, tidak jarang pula ada saudara dan tetangga yang baik hati memberinya sayuran untuk dimasak keluarganya.
"Alhamdulillah kami punya saudara, orang-orang di sini (tetangga) juga baik, mereka biasa aja sama kami, nggak membeda-bedakan gitu walaupun kami ini begini (disabilitas). Kadang ada yang ngasih sayur, lauk pauk, buat masak," papar Tunah.
Meski begitu, Sholikin dan Tunah merasa bersyukur. Anak semata wayangnya, Edwin Abyo Taukhid (17), tetap bersekolah hingga saat ini duduk di bangku SMK di Kota Magelang. Kondisi ekonomi keluarga tidak membuat anaknya patah arang.
Sejak MTS dan sekarang di SMK, anak lelakinya itu mendapatkan beasiswa penuh sehingga cukup mengurangi beban ekonomi.
Tunah menambahkan, anaknya juga mengerti dengan kondisi ekonomi keluarga sehingga dia pun hampir tak pernah meminta atau menuntut apa-apa dari kedua orangtuanya.
Saat ini, keluarga Sholikin sudah tercatat sebagai penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial (Kemensos). Bantuan ini pun diperolehnya dengan penuh perjuangan karena Tunah meminta langsung ke Bupati Magelang Zaenal Arifin.
"Saat orang-orang di sekitar sini terima PKH, saya tidak dikasih sendiri. Akhirnya saya nekat minta Pak Bupati, saya langsung ke rumah dinas bertemu beliau sampai akhirnya kami dapat," kisah Tunah.
Tunah mengaku hanya tercatat sebagai penerima manfaat PKH. Dirinya juga berharap bisa mendapatkan Kartu Indoesia Sehat (KIS) untuk berobat suaminya. Tunah mangatakan suaminya harus rutin berobat untuk memeriksakan matanya yang pernah dioperasi.
"Saya bersyukur atas kondisi saya. Tapi gimana lagi, yang penting saya enggak begini (meminta-Red). Saya juga tak pernah mengeluh ke saudara-saudara," tambahnya.
Sementara itu, Edwin Abyo Taukhid (17), sang anak sama sekali tak pernah mempermasalahkan kondisi kedua orangtuanya. Dia justru bersyukur memiliki orangtua yang sangat menyayangi walaupun fisik mereka berbeda dengan orang-orang pada umumnya.
Sedari TK hingga SMP, Edwin selalu diantar oleh ayahnya. Begitu juga saat pembagian rapor sekolah. Melihat kondisi orang tuanya seperti itu, teman-teman hingga gurunya memaklumi hal tersebut. Sekarang, sudah tidak ada lagi yang mengejeknya.
“Setelah lulus sekolah, pengen kuliah, tapi belum tahu di mana. Dulu pengennya jadi dokter, sekarang pengen jadi dokter otomatif,” kata Edwin bersemangat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.