KOMPAS.com - Tari Angguk berkembang di daerah pedesaan di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Tari Angguk banyak muncul di daerah barat dan utara Kulon Progo, yaitu di daerah Temon, Kokap, dan Girimulyo.
Biasanya, pertunjukan Tari Angguk dilakukan di pendopo atau halaman rumah pada malam hari.
Berikut ini adalah asal-usul, cerita, makna filosofi, dan kostum Tari Angguk.
Tari Angguk berasal dari Tari Dolalak di Purworejo. Kemudian, Tari Dolalak masuk dan berkembang di Kulon Progo sekitar 1950-an.
Diperkirakan Tari Angguk muncul sejak zaman Belanda, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan setelah panen padi.
Untuk merayakannya, para muda mudi bersukaria sambil bernyanyi, menari, dan mengagguk-anggukkan kepala.
Dari sini, lahirlah kesenian yang disebut angguk.
Penonton yang menikmati Tari Angguk yang biasa di gelar di halaman rumah atau pendopo tidak dipungut biaya.
Baca juga: Apa itu Jathilan, Asal-usul, Gerakan, dan Properti
Biasanya, kesenian ini dibiayai oleh orang yang sendang mempunyai hajat.
Awalnya, Tari Angguk ditarikan oleh laki-laki, namun dalam perkembangannya tarian ini ditarian oleh perempuan.
Hal ini karena banyak penonton yang senang melihat tari tersebut ditarikan oleh penari perempuan.
Jumlah penari Tari Angguk sekitar 15 orang.
Tari Angguk menceritakan Serat Ambiyo dengan kisah Umarmoyo-Umarmadi dan Wong Agung Jayengrono.
Tari Angguk yang berdurasi sekitar tiga sampai tujuh jam ini ditarikan dengan pantun-pantun rakyat yang berisi tentang aspek kehidupan manusia, seperti pergaulan, budi pekerti, nasihat-nasihat, dan pendidikan.