Oleh karena itu pada bagian kiri dan kanan Kemagangan terdapat kampung Sekul Langgen dan Gebulen, tempat tinggal Abdi Dalem yang bertugas sebagai juru masak keraton.
Lokasi kampung itu memiliki makna bahwa anak yang sedang tumbuh memerlukan asupan makanan yang cukup.
Di sekitar area tersebut juga ditanami pohon jambu dersana (kaderesan sihing sasama) yang bermakna keteladanan bagi sesama (sinudarsana).
Filosofi sangkan kemudian berhenti di tempat ini karena telah sampai pada simbol di mana anak telah tumbuh menjadi manusia dewasa.
Filosofi paran dimulai dari Tugu Pal Putih atau disebut juga Tugu Golong Gilig menuju ke arah selatan yaitu menuju Keraton Yogyakarta.
Tugu Golong Gilig pada masa lalu tidak memiliki bentuk yang sama dengan yang ada saat ini.
Tugu yang asli rusak akibat gempa pada tahun 1867 yang kemudian dibangun kembali dengan bantuan pemerintah Hindia-Belanda.
Karena tugu tersebut berwarna putih sebagai lambang kesucian, maka orang Belanda menyebutnya dengan De Witte Paal sehingga kemudian dikenal sebagai Tugu Pal Putih.
Bentuk Tugu Golong Gilig pada masa lalu memiliki puncak tugu berbentuk bola (golong) dan badan tugu berbentuk kerucut terpancung yang berbentuk bulat panjang (gilig) dengan ketinggian 25 meter.
Filosofi yang ada pada Tugu Golong Gilig adalah “golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik” atau bersatunya seluruh kehendak untuk menghadap Sang Pencipta.
Keberadaan Tugu Golong Gilig adalah lambang perjalanan seorang manusia dalam melaksanakan proses kehidupannya.
Posisi Tugu Golong Gilig diapit oleh dua desa, yaitu Pingit (menyimpan) di Barat dan Gondolayu (bau mayat) di timur.
Makna penamaan kedua desa ini adalah bahwa ketika manusia hendak memulai perjalanan menuju Sang Pencipta, maka yang harus dilakukan adalah meninggalkan hal-hal yang berbau busuk.
Kemudian terdapat empat buah jalan yang terbentang dari utara ke selatan berturut-turut yaitu Jalan Margatama, Jalan Malioboro, Jalan Margamulya, dan Jalan Pangurakan.
Makna Jalan Margatama adalah jalan menuju keutamaan, Jalan Malioboro (Maliabara) berarti penggunaan “obor” sebagai penerang, yaitu ajaran para wali, Jalan Margamulya berarti jalan menuju kemuliaan, dan Jalan Pangurakan yang berarti manusia harus bisa mengusir (ngurak) nafsu-nafsu yang buruk
Sepanjang tepian Jalan Margatama hingga Jalan Margamulya ditanami pohon asam (asem) yang melambangkan sengsem (ketertarikan) dan pohon gayam yang melambangkan ayom (ketenangan).
Kemudian perjalanan akan memasuki kawasan Alun-Alun Utara, di mana kata kata alun (ombak) menggambarkan berbagai gelombang yang dihadapi manusia sebelum kembali kepada Penciptanya dan diwujudkan dalam bentuk pasir yang mengelilingi area tersebut.
Memasuki area Keraton, terdapat Siti Hinggil Lor yang ditanami pohon gayam, kepel, dan kemuning.
Pohon kepel bermakna sebagai tangan yang mengepal melambangkan tekad dan kemauan untuk bekerja sebagai manusia dewasa.