Ritual memandikan diawali dengan disiapkannya berbagai sesaji, seperti Ingkung dan berbagai makanan, hingga kemenyan. Disiapkan pula kembang yang ditaburkan ke sendang.
Kemat lalu memandikan kedua pusaka di pinggir kolam. Kemat didampingi beberapa pangrekso budoyo sebagai abdi dalem dari Keraton yang membantu prosesi. Mereka hati-hati menyiram pusaka dan membersihkannya.
“Kita melakukan pelepasan turub (penutupnya) baru penjamasan. Penjamasan itu adalah biar terjaga keasliannya, biar tidak rusak,” kata Kemat.
Baca juga: Kirab Malam Satu Suro Keraton Solo, Polisi Siagakan Ratusan Personel
Selama ritual berlangsung, ratusan orang menunggu di luar pagar. Mereka memenuhi tangga hingga jalan-jalan.
Usai prosesi, warga berebut masuk ke ruang sendang. Ada yang mengambil air untuk mencuci muka, mencuci tangan, tidak sedikit menampung air jernih itu ke dalam botol untuk dibawa pulang.
“Ada kepercayaan di masyarakat kita bahwa air (memberi khasiat) bisa menyembuhkan, kejayaan, dan awet muda. Masyarakat banyak yang mempercayainya, saya juga meyakininya,” kata Dyah Ayu Ernie Kurniasari yang datang dari Yogyakarta.
Ritual tidak hanya menarik warga Keceme dan sekitarnya. Tidak sedikit warga dari luar kota datang ke sana.
Sudin (60) mengaku berasal dari kawasan Borobudur, Magelang, sekitar 30 kilometer jauhnya. Sudin bersama 10 tetangganya menyewa angkutan kota untuk datang ke Keceme. Mereka berharap mendapatkan air sendang dan rezeki di sana.
“Kami berharap memperoleh berkah dan kesembuhan,” kata Sudin.
Baca juga: Malam Satu Suro: Sejarah dan Tradisi di Yogyakarta Juga Solo
Tradisi di kawasan Widodaren itu berlanjut dengan berebut gunungan atau ngalap berkah. Biasanya, acara ini berlangsung usai jamasan, didahului doa.
Warga agaknya tidak sabar. Mereka merengsek ke arah dua gunungan sebelum didoakan, langsung berebut mengambil hasil bumi.