“Banyak anak yang tidak memiliki orangtua yang lengkap,” kata Agus.
Perjalanan waktu, jumlah siswa mendaftar semakin surut. Salah satunya karena bermunculan sejumlah sekolah di dusun kanan kiri, seperti MI di Sangon, MI di Plampang III, dan satu SD Negeri Gunung Agung.
Selain itu, pola pikir masyarakat juga berkembang semakin terpolarisasi soal sekolah berbasis agama.
Ajakan sekolah gratis belum berhasil menarik minat. Peminat sekolah tetap semakin susut.
Kini, hanya tersisa 10 siswa saja.
“Kelas dua dan kelas lima tidak ada siswa,” kata Agus.
Kepala sekolah memastikan, sekolah ini tetap akan terus dibuka sampai kapan pun. Pasalnya, sekolah memiliki latar perjuangan dan pelayanan panjang bagi masyarakat.
Pihaknya tetap bangga, terlebih mengingat bahwa sekolah telah menjadi bagian dari menciptakan banyak orang berhasil di bidangnya.
“Mereka yang pernah sekolah di sini sekarang banyak sekali yang akhirnya sudah menjadi tentara sekarang. Perwira menengah tentara juga ada. Ada juga yang sudah jadi dokter dan dosen,” kata Agus pada kesempatan sebelumnya.
Tidak sedikit sekolah minim pendaftar tiap musim tahun ajaran baru hingga jadi sekolah minim siswa seperti ini. Tantangan ini dirasakan banyak sekolah swasta di daerah pinggiran dengan kondisi warga ekonomi kurang mampu.
Beban operasional tinggi. Berat bagi sejumlah yayasan penyelenggara sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kulon Progo, Arif Prastowo mengungkapkan satu sekolah swasta bahkan tutup di 2022 ini.
“Tahun ini ada satu SD swasta. Mereka akan mengalihkan siswanya ke daerah lain. Untuk daerah tertentu dengan murid sedikit, sangat membebani," kata Arif.
Baca juga: Sepi Peminat, Disdik Kota Bandung Akan Kembali Buka PPDB Online SD
Pemerintah menurutnya memahami kesulitan sekolah swasta. Namun, semua tergantung usaha dan strategi yayasan penyelenggara sekolah.
"Agak dilematis untuk sekolah di tempat yang dalam tanda petik terpencil," kata Arif pada kesempatan berbeda.