KOMPAS.com - Dipandang sebelah mata. Itulah yang terjadi terhadap Nurohman (33), seorang pemuda asal Kalurahan Banyuroto, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tak pernah keluar rumah dan bersosialisasi, dan tak pernah terlihat bekerja, membuat masyarakat sekitar menggunjingkannya.
Apalagi, Nurohman berasal dari keluarga miskin. Dia dianggap malas, tak cekatan, dan tak mau bekerja keras.
Baca juga: Hasil Kelola 50 Server di Berbagai Negara, Pemuda Desa di Kulon Progo Ubah Nasib Keluarga (2)
Namun, siapa sangka, pemuda yang disangka pengangguran itu merupakan pengelola 50 server yang ada di berbagai negara.
Nur, sapaan Nurohman, merupakan seorang teknisi infrastruktur alias infrastructure engineer di sebuah perusahaan yang berkutat dalam internet of things (IoT).
Perusahaan tempatnya bekerja merupakan perusahaan IT yang fokus pada engineering robotik dan otomatisasi bernama Consap Pte Ltd.
Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu menangani IoT, di antaranya smart home, smart hotel, dan smart airport.
Klien perusahaannya dari berbagai negara, terbanyak di Singapura. Termasuk juga apartemen di Singapura hingga kafe.
IoT merupakan jaringan antarperangkat dan peralatan yang terhubung satu dengan lain dan beroperasi secara otomatis tanpa campur tangan manusia secara langsung.
IoT memerlukan banyak data agar semua berjalan normal, seperti perubahan temperatur, suara, sentuhan, dan lain sebagainya. Data tersebut tersimpan pada cloud data center.
Sensor dalam perangkat IoT bisa mengenali semua data itu. Manusia mengontrol beberapa perangkat dari jarak jauh melalui koneksi internet sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.
Layanan mereka kompleks sesuai keinginan pelanggannya. Proyek IoT yang begitu banyak, tentu memerlukan penyimpanan data yang besar dan stabil.
Nur bekerja menjaga keandalan semua server sebagai tempat menyimpan data itu. Perusahaan menyewa server yang berada di beberapa data center atau pusat data di beberapa negara, utamanya Singapura.
Nur mengontrol server itu dari desa pinggiran Kulon Progo. Ia mengendali dari dalam kamarnya. Tidak mengenal waktu, bahkan hingga larut malam.
“Misal lampu ini bisa berubah warna tanpa sentuhan manusia. Kita memberi perintah maka lampu berubah warna. Data suara, data warna, banyak data lain itu tersimpan dalam server. Melalui koneksi internet maka bisa beroperasi,” kata Nur, belum lama ini saat berbincang dengan Kompas.com di kediamannya.
Nur mengendalikan secara remote atau dari jarak jauh. Ia mengendalikan server dalam beberapa data center agar tetap aman dan lancar dimanfaatkan.
Perusahaan IT tempat ia bekerja bahkan menyewa sekitar 50 – 70 server yang ada di Singapura.
Sebelumnya, ada di berbagai negara di Eropa hingga Amerika. Karena persoalan kestabilan dan keamanan data center, maka mereka memindahkannya ke Singapura.
Jika datang ke rumah Nur, mungkin tak akan ada yang menyangka profesi pemuda ini.
Nur bekerja di kamar mungil 3x3 meter persegi dengan dinding plester kasar, tidak dihaluskan.
Langit-langitnya terbuka. Jika mendongak ke atas langsung menatap genting yang kisi-kisinya bisa jadi celah sinar dari luar masuk ke kamar.
Langit-langit kamar itu ditutup seadanya dengan plastik. Karenanya, jelaga dan debu dari genting jatuh ke plastik dan menyisakan tampilan tembus pandang langit-langit yang kotor.
Ruangan kamar ini memang belum sempurna selesai. Namun, kondisinya lebih bagus daripada kondisi keseluruhan rumah. Rumah Nur sekitar 48 meter persegi.
Separuh rumah, mulai dari kamar tidur hingga ke kamar tamu dan teras, berdiri dari batako yang belum diplester. Sebagian lagi, yakni bagian dapur, masih berdinding anyaman bambu lusuh dan lapuk.
Hanya kamar yang ditempati Nur yang berlantai keramik putih sehingga terkesan bersih. Sementara yang lain lantai semen kasar.
Dalam kamar Nur ini terdapat meja dengan satu monitor dan satu laptop. Dinding di dekat meja menggantung instalasi WiFi dan hub sentral yang membagi WiFi ke beberapa rumah tetangga.
Tidak ada kasur apalagi dipan dalam kamar. Hanya tikar plastik menghampar di lantai keramik putih.
"Di sini (tikar) saya tidur atau di kursi. Di meja ini saya lebih banyak aktivitas," kata Nur.
Nur mengatakan, bekerja di perusahaan asing tak perlu neko-neko. Yang paling dibutuhkan asal kemampuan.
Lalu, dari mana Nur mendapatkan kemampuannya? Apa yang memotivasinya untuk bisa keluar dari kemiskinan?
Nur bercerita, dia lahir dari pasangan Sunardi (66) dan Sanikem (56). Sejak lahir, Nur sudah hidup miskin.
Dia ingat betul bagaimana kedua orangtuanya kerja serabutan, bersusah payah mencai ruang untuk makan dan sekolah Nur serta dua saudaranya.
Kedua orangtuanya berjualan tempe hingga menjadi buruh lepas produk kerajinan dengan upah Rp 800 per set keranjang.