KULON PROGO, KOMPAS.com – Luka itu masih menganga dalam hati suami istri Sunardi (66) dan Sanikem (56) yang hidup di sebuah dusun pada Kalurahan Banyuroto, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tidak terobati sejak anak kedua mereka ditemukan meninggal diselimuti misteri pada 2014.
Sunardi yang patah hati lebih banyak diam. Ia sering ditemukan melamun di lahan tempat mencari pakan sapi sejak kematian Nurohim, anak keduanya.
Sanikem tampak lebih tegar, sekokoh tangannya yang besar layaknya buruh serabutan. Ia tetap jualan tempe benguk dua kali dalam satu pekan demi menghasilkan Rp 50.000 – 100.000 sekali turun jualan di pasar.
Sanikem juga masih buruh lepas usaha produk kerajinan serat alam dengan upah Rp 800 per satu set keranjang yang dirapikan olehnya.
Begitu sulit melupakan kenangan pahit itu. Terlebih, demi mengungkap kepastian kematian Nurohim, anak kedua mereka. Mereka rela utang dengan jaminan tanah dan rumah.
“Sekitar Rp 60 juta. Tanah ini dijaminkan,” kata Nurohman (33), anak pertama Sunardi – Sanikem.
Nur, panggilannya, memperbaiki posisi kakinya yang bersila, sebelum melanjutkan cerita. Ia menegakkan dada, mencoba menata suara agar hilang serak, lalu cukup berhasil menceritakan dengan runtut di tiap hela nafasnya.
Uang pinjaman banyak tersedot terkait kematian Nurohim di 2014. Media saat itu memberitakan, adiknya mati dengan luka berat, jauh dari rumah.
Sayang, kasus itu tidak berujung, menyisakan utang yang sulit dilunasi. Sunardi-Sanikem menelan pil pahit kasus itu tanpa kejelasan.
Ketika itu, Nur belum punya penghasilan tetap.
Ia sambil mengingat kembali jasa orangtua. Meski dari keluarga miskin, suami istri itu susah payah mencari uang demi sekolah ketiga anaknya. Terutama Nur yang membutuhkan biaya cukup banyak untuk sekolah di jurusan Teknologi Informasi pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pengasih.
Pemuda ini haus pada keingintahuan terkait dunia jaringan dan pemrograman. Di kelas satu, Nur sudah menarik kabel dan membuat jaringan komputer dari ruang guru.
Sementara teman sebayanya masih berkutat belajar install software dan merakit komputer.
Kelas dua, ia mendalami bahasa Inggris dari seorang native speaker asal Lithuania. Nur pula yang memperbaiki komputer si bule.
Baca juga: Kisah Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul, Tak Lagi Susah Urus Administrasi Kependudukan