KOMPAS.com - Perjuangan Giri Trisno Putra Sambada (25) menempuh studi sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya selesai.
Giri, seorang difabel netra, mampu membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah hambatan untuk menorehkan prestasi.
Giri merupakan putra pertama. Ia dan keluarga tinggal di daerah Mantrijeron, Yogyakarta. Kedua orangtuanya sehari-hari berjualan soto di daerah Tamanan, Bantul.
Sebelumnya sang ayah sempat memiliki usaha event organizer. Namun, karena sakit diabetes dan jantung koroner, sang ayah berhenti menjalankan usaha tersebut dan memilih membantu sang istri berjualan soto.
Baca juga: Merasa Ditipu Pengembang Properti,5 Difabel Netra Lapor Polisi
Sedangkan sang adik saat ini menempuh pendidikan sarjana masuk semester empat di salah satu perguruan tinggi swasta Yogyakarta.
Giri kini resmi menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE).
Pria asal Yogyakarta itu telah mengikuti wisuda periode kedua Tahun Akademik 2021/2022 yang diselenggarakan UGM, Rabu (23/2/2022).
Dia berhasil mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IP) 3,43 atau sangat memuaskan dari prodi Manajemen Fakultas Ekonomik dan Bisnis.
“Saya berusaha untuk menunjukkan pada semua orang, meski penyandang disabilitas, tapi bisa berprestasi, yaitu dengan kembali kuliah,” jelasnya, Kamis (24/2/2022).
Baca juga: Mari Bantu Perjuangan Fuad, Guru Difabel Netra agar Terus Bisa Mendidik Siswa Disabilitas
Padahal, pada saat itu, dia sudah duduk di bangku kuliah.
Giri lahir dengan penglihatan normal. Namun, ia dinyatakan tidak bisa melihat sejak 7 tahun lalu.
“Saat masuk UGM masih bisa melihat, hingga semester dua Allah mengambil pengelihatan saya secara total. Seolah runtuh semua cita-cita, hilang semua harapan, seperti tak mungkin lagi menjadi apa-apa,” paparnya.
Baca juga: Kisah Guru Difabel Netra, Tak Menyerah meski Muridnya Hanya 1 dan Belajar di Gudang
Fungsi penglihatan Giri menurun saat mengikuti perkuliahan di kelas.
Tanpa merasa sakit secara tiba-tiba ia mulai tidak bisa melihat lagi. Semua samar. Wajah teman dan yang dilihatnya hanya berwarna putih.
Kondisi seperti itu yang membuatnya harus menjalani perawatan di RSUP dr Sardjito sekitar 4 bulan dengan diagnosa ada peradangan pada saraf mata dengan penyebab yang masih belum bisa diketahui.
“Waktu itu kan rawat inap pertama sekitar 10 hari lalu pulang ke rumah, itu masih masa-masa ujian akhir semester (UAS). Saya nekat ngampus untuk UAS, tapi sampai kelas nangis karena tidak bisa membaca dan nulis akhirnya pulang dijemput bapak,” ungkapnya.
Baca juga: Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas Salurkan Ratusan Paket Sembako untuk Persatuan Tuna Netra di Lampung
Kebingungan pun melanda Giri. Bagaimana ia menjalani perkuliahan dengan kondisi tidak bisa melihat? Bagaimana jika cita-citanya untuk menjadi orang sukses yang sejak dulu diidam-idamkan kini tak bisa lagi tercapai lantaran ia tak bisa melihat?
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di hatinya. Untuk menenangkan diri, dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah selama lima semester.
Selama masa cuti tersebut, ia menjalani terapi di berbagai tempat, tapi hasilnya tetap nihil. Penglihatannya semakin memburuk hingga semua hitam dan gelap.
Namun, hal tersebut tak membuat ia menyerah dengan keterbatasan. Ia mulai berpikir bahwa keterbatasan tidak boleh menjadi batu sandungan untuknya melangkah lebih jauh.
Baca juga: Mengaku Bisa Tarik 1 Kg Emas Batangan, Pria Tuna Netra Tipu Korbannya hingga Ratusan Juta Rupiah