KULON PROGO, KOMPAS.com – Sumur kuno dan cerita di baliknya banyak ditemui pada berbagai daerah di Indonesia. Tidak sedikit yang mengaitkan dengan hal mistis.
Sumur kuno rupanya juga ada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keberadaannya di dalam kawasan UPTD Balai Pengembangan Perbenihan dan Pengawasan Mutu benih Tanaman Pertanian (BP3MBTP) unit Tambak, pedukuhan Tambak, Kalurahan Triharjo, Kapanewon Wates.
UPTD ini bagian dari Unit Pelayanan Operasional Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY.
Lokasi balai ini dan sekitarnya berada dalam kepemilikan Kasentanan Kadipaten Pura Pakualaman Yogyakarta atau Paku Alam (PA) Ground.
Baca juga: 4 Batu Nisan Kuno Beraksara Arab di Palembang Akan Diajukan Jadi Cagar Budaya
Berbeda dari kisah di balik sumur daerah lain, sumur kuno di Tambak merupakan saksi sejarah pemimpin Kadipaten Pakualaman yang membawa wilayahnya keluar dari krisis ekonomi sebelum tahun 1900.
Saat itu memerintah Paku Alam V Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Suryadilaga.
Ia mengembangkan pabrik pewarna dari pohon nila (Indigofera sp) untuk mendorong kebangkitan perekonomian kadipaten.
Pabrik penghasil pewarna alami itu berdiri pada 1880 dengan nama Soember Nilo Tambak.
Tiga pabrik berdiri, salah satunya di Tambak.
Perkebunan nila turut berkembang pesat mendukung operasi pabrik sekaligus menyerap banyak tenaga kerja masyarakat.
Baca juga: Gudang Pabrik Wig di Kulon Progo Terbakar, Pemadaman Dibantu Water Cannon Polisi
Upaya keluar dari krisis sejatinya tidak hanya dari pabrik nila. Investasi dari luar meningkat di Pakualaman. Terdapat pula pabrik gula di Galur pada 1881.
Pabrik dan investasi yang masuk mendorong Pakualaman lepas dari krisis ekonomi dan mampu melunasi utang-utangnya pada bank Belanda saat itu.
“Perekonomian turun, namun kembali meningkat karena perusahaan-perusahaan itu,” kata Kepala Seksi Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kulon Progo, Fitriatiningsih Fauzatun, Kamis (27/1/2022).
Sumur yang masih ada sampai kini jadi saksi. Sisa kejayaan pabrik nila tampak dari keberadaan sumur dan beberapa sisa bangunan di sana.
Semua berada di eks pabrik di pinggir Jalan Nasional III, Pedukuhan Tambak.
Ada enam sumur kuno dalam area Balai Pengembangan Pembenihan ini. Semuanya masih memiliki struktur tempo dulu, setidaknya terlihat dari dinding sumur yang kokoh.
Koordinator BP3MBTP unit Tambak, Sukirman mengungkapkan, hanya satu sumur yang berfungsi sangat baik. Bahkan satu sumur ini masih aktif di mana airnya dimanfaatkan masyarakat.
Sumur ini dikenal sebagai sumur Drajad. Sumur Drajat memang tidak lagi memiliki dinding mulut sumur, tapi sekelilingnya sudah dihiasi batu kerikil agar tampak lebih asri.
Sumur Drajad memiliki air berlimpah dan bening. Bahkan sewaktu-waktu, masyarakat masih menziarahi sumur itu.
“Masih sering didatangi warga untuk kegiatan khusus,” kata Sukirman.
Selain sumur, ada pula cagak kitiran atau bangunan serupa beteng (pagar).
Dekat dari beteng terdapat sisa bangunan penampung air dengan lubang tempat mengisi air. Sayang kondisi tidak terawat.
Selain itu, ada pula rangka kayu bekas bangunan tradisional diperkirakan sebagai bekas komponen pabrik pengolahan tanaman nila.
Namun, usaha dan bangunan tidak bisa melawan waktu. Pewarna alami saat itu akhirnya kalah dengan pewarna sintesis Jerman, apalagi kalau dikaitkan dengan warna yang lebih tajam dan praktis.
Pewarna alami lalu surut, bahkan berhenti beroperasi, seiring kurangnya air.
Dengan kisah heroik kebijakan ekonomi masa lalu ini, Pemerintah Kulon Progo menetapkan jejak pabrik itu sebagai cagar budaya melalui SK Bupati Nomor 415/A/2020.
Dalam SK tersebut, terdapat enam sumur dan tiga sisa bangunan yang menjadi cagar budaya.
“(Perlu dilestarikan) karena memiliki nilai sejarah,” kata Kepala Bidang Warisan Budaya, Disbud Kulon Progo, Siti Isnaini.
Baca juga: Lokasi Penemuan Fosil Hewan Purba di Blora Diharapkan Jadi Cagar Budaya
Pemerintah memang belum punya rencana perbaikan kawasan maupun rehab pascapenetapan cagar budaya itu. Tetapi, sumur dan sisa bangunan itu akan menjadi situs.
Selain itu, pemerintah masih menjajaki sinergi antara keberadaan tanaman buah-buahan yang dikembangkan balai dengan keberadaan cagar budaya.
Pasalnya, kawasan potensial jadi agrowisata sejarah. “Bisa jadi paket," kata Siti.
Baca juga: Mengenal Gedung Singa Algemeene, Cagar Budaya Surabaya yang Kini Dijual, Ada Sejak Tahun 1901
Puro Pakualaman mendukung keberadaan cagar budaya dan rencana-rencana pengembangan ke depan kawasan itu.
“(Pabrik pewarna itu) zaman Belanda memang berjaya. (Kami menyikapi) positif, karena situs itu pondok kenang-kenangan bahwa kita pernah ada di situ dan pernah ada kejayaan Pakualaman di sini,” kata KPH Kusumo Parasto, Pengageng Kasentanan Kadipaten Puro Pakualaman saat berkunjung ke Disbud Kulon Progo, belum lama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.