Endah Susilantini dalam tulisannya “Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta” mengatakan bahwa ritual ini pernah dipakai untuk mengusir wabah flu yang menjangkiti warga Yogyakarta pada 1919.
Kala itu, warga Yogyakarta meminta kepada pihak keraton untuk melakukan ritual pengibaran bendera pusaka bernama Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.
Pusaka tersebut kemudian dikirab mengelilingi benteng keraton.
Kanjeng Kiai Tunggul Wulung kembali dikirabkan tatkala penyakit pes mewabah pada 1932, 1946, dan 1951.
Baca juga: Ikut Mubeng Beteng, Sadiono Berharap Keselamatan
Kirab mengelilingi benteng ini dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan penyebaran penyakit yang melanda masyarakat luas, termasuk warga Yogyakarta.
Waktu itu, prosesi mubeng beteng disertai kirab pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Wulung dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta secara besar-besaran.
Kanjeng Kiai Tunggul Wulung berada paling depan dalam rombongan.
Di belakangnya terdapat satu batalyon prajurit keraton, kemudian disusul sebagian warga Yogyakarta dari berbagai penjuru.
Adapun mengenai Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, pusaka tersebut konon merupakan bagian dari kain penutup Kabah yang dibawa oleh Imam Safi’i, seorang utusan Sultan Hamengkubuwono I pada 1784 Masehi.
Baca juga: Jarak dan Usia Tak Halangi Warga Ikuti Laku Mubeng Beteng di Yogyakarta