Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sukadi Pemilik Kebun Amarilis, Awalnya Dicibir Sekarang Dicintai

Kompas.com - 06/12/2019, 12:13 WIB
Markus Yuwono,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Setiap November hingga awal Desember, bunga amarilis bermekaran di jalur Yogyakarta-Wonosari, tepatnya di Desa Salam, Kecamatan Patuk, Gunungkidul.

Sukadi adalah pemilik kebun bunga Amarilis yang terapat di Gunungkidul ini.

Kebun milik Sukadi sempat menghebohkan netizen pada 2015 lalu, karena tanaman di kebunnya dinjak-injak pengunjung yang ingin berswafoto.

Saat ditemui Kompas.com, Jumat (6/12/2019), Sukadi bersama istrinya Wartini bercerita tentang perjuangannya menyelamatkan bunga yang juga dikenal sebagai Puspa Patuk dan Brambang Procol tersebut.

"Dua tahun setelah menikah, tepatnya tahun 2002 saya berpikiran menyelamatkan tanaman yang dianggap gulma oleh masyarakat," kata Sukadi.

Umbi-umbi amarilis yang dibuang warga karena dianggap gulma, dipungut oleh Sukadi

Hal itu selalu dilakukan di sela pekerjaannya sebagai penjual sayuran dan mainan anak.

Bersama istrinya, Sukadi selalu bangun pada dini hari untuk mengolah lahan pekarangannya untuk ditanami umbi amarilis.

Anaknya yang masih kecil dia titipkan ke orangtuanya, agar lebih fokus merawat tanaman.

"Sempat berjualan bibit amarilis di pinggir jalan (Yogyakarta-Wonosari) itu tahun 2003. Waktu itu sebulan berjualan mendapatkan Rp125.000. Orang melirik saja tidak mau," ujar Sukadi. 

Setelah bertahun-tahun, uang hasil dari bekerja sebagai penjual mainan digunakan untuk membeli umbi dari petani.

Waktu itu Sukadi berhasil mengumpulkan 2 ton bibit.

Pada 2014, amarilis mulai bisa tumbuh. Kemudian, pada 2015, bunga-bunga amarilis bisa mekar bersamaan hingga fotonya viral di media sosial.

Waktu itu, Sukadi tak menyangka kebun miliknya menjadi viral. Ia pun tidak mempersiapkan jalur bagi wisatawan.

"Awalnya keinginan saya itu hanya menyelematkan tanaman gulma ini. Tahun 1970 an tanaman ini banyak dijumpai bahkan sampai ke pelosok. Tetapi oleh petani dibabat habis. Tidak kepikiran mau jadi seperti saat ini," ujar Sukadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com