Salin Artikel

Mengapa Bulan Suro Identik dengan Kirab dan Jamasan Pusaka? Ini Penjelasan Budayawan

KOMPAS.com - Bagi masyarakat Jawa, Suro dipercaya sebagai bulan yang sakral.

Dalam menyambutnya, sejumlah masyarakat melakukan kirab, jamasan pusaka, hingga bertapa. Ritual-ritual itu kerap digelar pada malam 1 Suro.

Apa makna ritual-ritual tersebut?

Menurut Andrik Purwasito, budayawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, bulan Suro merupakan waktu yang sangat baik bagi orang Jawa untuk mawas diri.

Selain itu, bulan Suro adalah waktu yang baik untuk memohon keselamatan dan memohon hajat kepada Tuhan supaya manusia terhindar dari marabahaya dan selalu mendapatkan perlindungan, keberkahan, hidayah dan inayah.

Oleh karena itu, terang Andrik, di keraton keturunan Mataram, Suro dianggap sebagai bulan yang keramat, sehingga sangat baik untuk jamasan pusaka maupun bentuk tirakat lainnya, seperti tapa mbisu (tak berbicara), tapa mlaku (berjalan), tapa kungkum (berendam).

"Karena pada saat itu, alam halus dan alam agal, keduanya terbuka untuk merestui apa yang menjagi pangajab (cita-cita) manusia," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Minggu (31/7/2022).

Guru besar dalam bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya UNS Surakarta ini mengatakan, dalam ritual-ritual tersebut, pelaku ritual selalu berdoa kepada Tuhan.

"Diawali dengan doa bismillahirrahmanirrahim. Lalu membaca syahadat dan doa panyuwun. Diakhiri dengan alhamdulillahi rabbil 'alamin, bentuk syukur atas nikmat dan karunia dari-Nya," ucapnya.

Kepala Prodi Kajian Budaya, Sekolah Pasca Sarjana UNS Surakarta ini menambahkan, bulan Suro juga memberi peluang masyarakat untuk merenungkan kehidupan ini secara cerdas.

Sebelum kirab berlangsung, diadakan pembacaan doa, tahlil, selawat, dan perenungan di bagian dalam keraton.

Di hari yang sama, kirab pusaka juga diselenggarakan oleh Puro Mangkunegaran, Solo.

Ada empat pusaka yang dikirab mengelilingi Puro Mangkunegaran. Para peserta kirab tidak diperbolehkan memakai alas kaki dan berbicara.

Koordinator seksi kirab Puro Mangkunegaran, Mas Ngabehi Bambang, menjelaskan, makna ritual itu yakni manusia selalu berhubungan dengan bumi dan berbakti kepada Tuhan yang Maha Kuasa dalam keadaan suci.

"Karena ini sifatnya sakral diharapkan tidak menggunakan tlumpah atau alas kaki. Kemudian topo bisu. Jadi berjalan itu tidak bicara," ungkapnya, Jumat.

Sementara itu, di Puncak Suroloyo, Pedukuhan Keceme, Kalurahan Gerbosari, Kapanewon Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, digelar jamasan pusaka milik Keraton Yogyakarta, Sabtu (30/7/2022).

Pusaka berupa berupa tombak Kiai Manggala Murti dan songsong Kiai Makuta Dewa itu dijamasi di Sendang Kawidodaren.

Juru kunci Sendang Kawidodaren, Surakso Kemat, menerangkan, prosesi membersihkan pusaka merupakan penghargaan dan penghormatan warga pada keraton.

“Penyucian (berupa) jamasan pusaka yang dilaksanakan setiap 1 Suro sekali. Pusaka ini pemberian Sultan IX (Sri Sultan Hamengku Buwono IX),” tuturnya.

Kemat menyampaikan, dengan jamasan ini diharapkan pusakata tersebut terjaga keasliannya dan tidak rusak.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/08/01/140000578/mengapa-bulan-suro-identik-dengan-kirab-dan-jamasan-pusaka-ini-penjelasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke