Salin Artikel

Kisah Nurohman, Diam seperti Pengangguran, Bergerak Mengendalikan 50 Server di Berbagai Negara

Tak pernah keluar rumah dan bersosialisasi, dan tak pernah terlihat bekerja, membuat masyarakat sekitar  menggunjingkannya.

Apalagi, Nurohman berasal dari keluarga miskin. Dia dianggap malas, tak cekatan, dan tak mau bekerja keras.

Namun, siapa sangka, pemuda yang disangka pengangguran itu merupakan pengelola 50 server yang ada di berbagai negara.

Nur, sapaan Nurohman, merupakan seorang teknisi infrastruktur alias infrastructure engineer di sebuah perusahaan yang berkutat dalam internet of things (IoT).

Perusahaan tempatnya bekerja merupakan perusahaan IT yang fokus pada engineering robotik dan otomatisasi bernama Consap Pte Ltd.

Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu menangani IoT, di antaranya smart home, smart hotel, dan smart airport.

Klien perusahaannya dari berbagai negara, terbanyak di Singapura. Termasuk juga apartemen di Singapura hingga kafe.

IoT merupakan jaringan antarperangkat dan peralatan yang terhubung satu dengan lain dan beroperasi secara otomatis tanpa campur tangan manusia secara langsung.

IoT memerlukan banyak data agar semua berjalan normal, seperti perubahan temperatur, suara, sentuhan, dan lain sebagainya. Data tersebut tersimpan pada cloud data center.

Sensor dalam perangkat IoT bisa mengenali semua data itu. Manusia mengontrol beberapa perangkat dari jarak jauh melalui koneksi internet sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.

Layanan mereka kompleks sesuai keinginan pelanggannya. Proyek IoT yang begitu banyak, tentu memerlukan penyimpanan data yang besar dan stabil.

Nur bekerja menjaga keandalan semua server sebagai tempat menyimpan data itu. Perusahaan menyewa server yang berada di beberapa data center atau pusat data di beberapa negara, utamanya Singapura.

Nur mengontrol server itu dari desa pinggiran Kulon Progo. Ia mengendali dari dalam kamarnya. Tidak mengenal waktu, bahkan hingga larut malam.

“Misal lampu ini bisa berubah warna tanpa sentuhan manusia. Kita memberi perintah maka lampu berubah warna. Data suara, data warna, banyak data lain itu tersimpan dalam server. Melalui koneksi internet maka bisa beroperasi,” kata Nur, belum lama ini saat berbincang dengan Kompas.com di kediamannya.

Nur mengendalikan secara remote atau dari jarak jauh. Ia mengendalikan server dalam beberapa data center agar tetap aman dan lancar dimanfaatkan.

Perusahaan IT tempat ia bekerja bahkan menyewa sekitar 50 – 70 server yang ada di Singapura.

Sebelumnya, ada di berbagai negara di Eropa hingga Amerika. Karena persoalan kestabilan dan keamanan data center, maka mereka memindahkannya ke Singapura.

Kamar 3x3 meter persegi

Jika datang ke rumah Nur, mungkin tak akan ada yang menyangka profesi pemuda ini.

Nur bekerja di kamar mungil 3x3 meter persegi dengan dinding plester kasar, tidak dihaluskan.

Langit-langitnya terbuka. Jika mendongak ke atas langsung menatap genting yang kisi-kisinya bisa jadi celah sinar dari luar masuk ke kamar.

Langit-langit kamar itu ditutup seadanya dengan plastik. Karenanya, jelaga dan debu dari genting jatuh ke plastik dan menyisakan tampilan tembus pandang langit-langit yang kotor.

Ruangan kamar ini memang belum sempurna selesai. Namun, kondisinya lebih bagus daripada kondisi keseluruhan rumah. Rumah Nur sekitar 48 meter persegi.

Separuh rumah, mulai dari kamar tidur hingga ke kamar tamu dan teras, berdiri dari batako yang belum diplester. Sebagian lagi, yakni bagian dapur, masih berdinding anyaman bambu lusuh dan lapuk.

Hanya kamar yang ditempati Nur yang berlantai keramik putih sehingga terkesan bersih. Sementara yang lain lantai semen kasar.

Dalam kamar Nur ini terdapat meja dengan satu monitor dan satu laptop. Dinding di dekat meja menggantung instalasi WiFi dan hub sentral yang membagi WiFi ke beberapa rumah tetangga.

Tidak ada kasur apalagi dipan dalam kamar. Hanya tikar plastik menghampar di lantai keramik putih.

"Di sini (tikar) saya tidur atau di kursi. Di meja ini saya lebih banyak aktivitas," kata Nur.

Kemampuan yang diutamakan

Nur mengatakan, bekerja di perusahaan asing tak perlu neko-neko. Yang paling dibutuhkan asal kemampuan.

Lalu, dari mana Nur mendapatkan kemampuannya? Apa yang memotivasinya untuk bisa keluar dari kemiskinan? 

Nur bercerita, dia lahir dari pasangan Sunardi (66) dan Sanikem (56). Sejak lahir, Nur sudah hidup miskin. 

Dia ingat betul bagaimana kedua orangtuanya kerja serabutan, bersusah payah mencai ruang untuk makan dan sekolah Nur serta dua saudaranya.

Kedua orangtuanya berjualan tempe hingga menjadi buruh lepas produk kerajinan dengan upah Rp 800 per set keranjang.


Terutama Nur yang membutuhkan biaya cukup banyak untuk sekolah di jurusan Teknologi Informasi pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Pengasih.

Nur muda haus pada keingintahuan terkait dunia jaringan dan pemrograman. Di kelas satu, Nur sudah menarik kabel dan membuat jaringan komputer dari ruang guru.

Sementara teman sebayanya masih berkutat belajar install software dan merakit komputer.

Kelas dua, ia mendalami bahasa Inggris dari seorang native speaker asal Lithuania. Nur pula yang memperbaiki komputer si bule.

Sepanjang tiga tahun sekolah membutuhkan biaya banyak. Mulai dari ongkos pulang pergi sekolah, belajar program, beli disket, flashdisk, bahkan membuat program untuk tugas akhir.

Nyaris setiap hari nongkrong di warung internet (warnet) untuk belajar dari pengelola warnet, baik belajar jaringan kabel, berselancar berjam-jam di dunia maya untuk mengisi rasa haus dunia jaringan IT hingga belajar hacker.

Karena semua itu, kebutuhan biaya jadi bengkak.

“Simbok berutang. Sekolah kejuruan itu butuh biaya besar. Sementara orangtua tidak punya pekerjaan tetap. Saya kadang minta (untuk kebutuhan sekolah), biaya itu konsekuensi kesasar ke dunia komputer,” kata Nur.

“Biaya warnet empat lima jam. Sementara adik sekolah utang juga,” kata Nur.

Semua berlangsung sampai Nur lulus dan mengawali mencari pekerjaan.

“Sementara bekerja di perusahaan ISP (internet service provider) belum menghasilkan dan tidak bisa memberi (untuk orangtua dan keluarganya),” kata Nur.

Nur terus mencoba peruntungan. Ia bekerja di beberapa perusahaan ISP. Naik turun tower telekomunikasi. Bahkan demi memasang tower merantau ke Samarinda, Kalimantan Timur.

Nur selepas remaja masih jiwa pemberontak. Karenanya ia tak betah lama bekerja di satu usaha dan sering tidak cocok dengan pemilik usaha.

Perkenalan dengan seseorang bernama Samuel, orang Singapura berdarah Malaysia, mengubah masa depannya. Awalnya Nur bekerja freelance pada Samuel.

Pertemuan tahun 2014 itu terus berlanjut pada berbagai proyek IoT di beberapa negara, terutama Singapura.

Nur bekerja dari jauh, dipercaya mengontrol kebutuhan perangkat keras dan lunak, memastikan semua perangkat terpasang, lalu Nur mengendalikannya dari jauh. Ia mengendalikan secara remote.

Usaha Samuel maju. Nur bergabung dengan Samuel dalam perusahan Consap Pte Ltd dengan kantor pusat di Singapura.

Nur mendapat posisi sebagai engineering maintenance di perusahaan itu. Kini, ia bekerja jarak jauh mengelola lebih 50 server di berbagai negara.

Server itu untuk melayani perusahaan yang berlangganan pada perusahaan dan grupnya.

Bekerja di perusahan asing, Nur mengaku gajinya tidak lebih besar dari gaji PNS golongan 3A.

Namun, penghasilan itu masih mampu membiayai semuanya, termasuk membalas budi usaha kedua orangtua yang menyekolahkan dirinya.

Ia juga mengambil alih semua utang Sanikem. Utang bank beralih padanya. Nur jadi tulang punggung untuk menebus utang keluarga.

"Sampai sekarang pun (utang itu) belum lunas," kata Nur.

Tidak hanya itu. Nur mengubah suasana rumah, yang tadinya rumah suram karena berdinding gedhek atau anyaman bambu, kini berubah jadi rumah batako meski baru sebagian dan belum diplester dan cat.

Rumah mereka luasnya 56 meter persegi. Separuh sudah menjadi dinding batu batako.

Pembangunan rumah merupakan bantuan pemerintah bagi keluarga miskin lewat program BPSP dari Kementerian Pekerjaan Umum pada 2020.

“Uangnya ditambahi Nur. Kalau saya tidak mampu,” kata Sanikem.

Separuh dari rumah lama berupa kayu dan bambu masih tersisa seluas 30 meter persegi.

“Kadang adik (ketiga) minta sesuatu, saya beri. Tapi sekolah masih yang menanggung Simbok,” kata Nur.

Mereka semua tetap hidup di rumah sederhana. Sanikem tetap bekerja seperti sedia kala..

Keluarga ini menikmati hidup baru, semangat baru, melupakan pahit masa lalu, menatap masa depan. Nur masih berjuang sampai sekarang untuk kehidupan keluarganya. (Penulis Kontributor Yogyakarta, Dani Julius Zebua | Editor Khairina)

https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/06/25/140111178/kisah-nurohman-diam-seperti-pengangguran-bergerak-mengendalikan-50-server

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke