Salin Artikel

Tradisi Mubeng Beteng, Mencari Ketenangan Hati dalam Sunyi

KOMPAS.com - Menyambut malam 1 Suro, Keraton Yogyakarta rutin mengadakan ritual tapa bisu mubeng beteng.

Dalam tradisi ini, peserta ritual akan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta. Saat menjalani ritual, peserta tidak diperbolehkan berbicara atau tapa bisu.

Tapa bisu mubeng beteng dilakukan pada tengah malam hingga dini hari.

Ritual ini dimulai saat lonceng Kyai Brajanala di regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali.

Selanjutnya, abdi dalem dan warga berjalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Bagian terdepan rombongan ritual mubeng beteng merupakan abdi dalem yang mengenakan pakaian Jawa tanpa keris dan alas kaki.

Mereka berjalan sambil membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakara.

Di belakang abdi dalem terdapat warga.

Dari Keben, peserta ritual kemudian melewati Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Agus Salim, Wahid Hasyim, Suryowijayan.

Kemudian melintasi pojok Beteng Kulon, MT Haryono, Mayjen Sutoyo, pojok Beteng Wetan, Brigjen Katamso, Ibu Ruswo, Alun-alun Utara, dan kembali ke Keben.

Sebelum mubeng beteng dimulai, terlebih dulu diperdengarkan tembang Macapat dari Bangsal Srimanganti.

Berdasar pemberitaan Kompas.com pada 25 Oktober 2014, Ketua Paguyuban Kaprajan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kanjeng Pangeran Mangunkusuma menuturkan, tembang Macapat dilantunkan supaya masyarakat yang akan mengikuti mubeng beteng bisa mempersiapkan batinnya, sekaligus masuk dalam suasana meditasi.

Sedangkan, doa-doa yang dilagukan lewat Macapat dimaksudkan supaya masyarakat mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa sebelum berjalan keliling beteng keraton.


Usir wabah

Endah Susilantini dalam tulisannya “Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta” mengatakan bahwa ritual ini pernah dipakai untuk mengusir wabah flu yang menjangkiti warga Yogyakarta pada 1919.

Kala itu, warga Yogyakarta meminta kepada pihak keraton untuk melakukan ritual pengibaran bendera pusaka bernama Kanjeng Kiai Tunggul Wulung.

Pusaka tersebut kemudian dikirab mengelilingi benteng keraton.

Kanjeng Kiai Tunggul Wulung kembali dikirabkan tatkala penyakit pes mewabah pada 1932, 1946, dan 1951.

Kirab mengelilingi benteng ini dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan penyebaran penyakit yang melanda masyarakat luas, termasuk warga Yogyakarta.

Waktu itu, prosesi mubeng beteng disertai kirab pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Wulung dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta secara besar-besaran.

Kanjeng Kiai Tunggul Wulung berada paling depan dalam rombongan.

Di belakangnya terdapat satu batalyon prajurit keraton, kemudian disusul sebagian warga Yogyakarta dari berbagai penjuru.

Adapun mengenai Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, pusaka tersebut konon merupakan bagian dari kain penutup Kabah yang dibawa oleh Imam Safi’i, seorang utusan Sultan Hamengkubuwono I pada 1784 Masehi.


Makna mubeng beteng

Endah menjelaskan, menurut konsep kejawen, mubeng beteng diartikan sebagai usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Ritual mubeng beteng mempunyai pertalian erat dengan sembah raga.

Dalam “Serat Sasangka Jati”, makna sembah raga adalah upaya manusia untuk membersihkan dan mengendalikan diri dari segala nafsu keduniawian serta lebih mengingat Tuhan agar kehidupan menjadi selamat dan sejahtera.

Sedangkan, Ridha Hayati dalam tulisannya “Makna Tradisi Ziarah dan Ritual Mubeng Beteng di Makam Raja-raja Imogiri, Yogyakarta” menyebutkan bahwa mubeng beteng merupakan simbol keheningan dan refleksi diri.

Saat menjalani mubeng beteng, pelaku ritual akan merasakan ketenangan dalam hati. Dari ketenangan tersebut akan mempengaruhi tindak-tanduk dalam keseharian.

Sumber: Kompas.com (Penulis: Kontributor Yogyakarta, Wisang Seto Pangaribowo; Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma | Editor: Khairina, Wisnubrata)

https://yogyakarta.kompas.com/read/2021/08/08/105049478/tradisi-mubeng-beteng-mencari-ketenangan-hati-dalam-sunyi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke