Salin Artikel

Sejarah Sayur Lodeh, Hidangan Penghalau Wabah di Pulau Jawa

Tidak ada yang istimewa dari sayur lodeh, segala tentangnya sederhana malah. Sayur berkuah ini terbuat dari tujuh bahan utama dan siraman santan yang sedikit pedas.

Ahli gizi yang mempelajari hidangan ini mengatakan ada manfaat kesehatan dari bahan-bahan tambahannya, seperti lengkuas, yang dianggap mengandung kualitas anti-inflamasi.

Hidangan yang terbuat dari bahan-bahan musiman yang mudah didapat ini juga sangat cocok untuk masa karantina, kata mereka.

Namun yang terpenting dari titah sultan untuk memasak sayur lodeh saat itu adalah pesannya tentang solidaritas sosial. Seluruh kota, memasak makanan yang sama di saat bersamaan, menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.

"Seperti banyak hal dalam kepercayaan Jawa, tujuannya adalah untuk menolak bala," ujar Revianto Budi Santoso, seorang arsitek, dosen, dan sejarawan Jawa.

"Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan lebih utama ketimbang mencapai sesuatu sendirian. Orang Jawa berpikir, jika tidak ada rintangan, hidup akan menjaga dirinya sendiri."

Secara keseluruhan, hidangan Jawa kaya akan simbolisme. Nasi tumpeng, misalnya, yang terdiri dari campuran daging dan sayuran dengan mahkota nasi kuning berbentuk kerucut, mencerminkan tatanan dunia di bawah Sang Kuasa.

Nasi kuning sendiri dianggap membawa berkah bagi rumah dan bisnis baru.

Sementara jamu, dalam manuskrip kuno ditulis sebagai 'jampi' atau 'usodho' adalah ramuan untuk kesehatan.

Sayur lodeh, secara linguistik dan numerologis, memperkuat simbolisme ini. Tujuh bahan utama yang ditambahkan ke kuah santan — melinjo, daun melinjo, labu siam, kacang panjang, terong, nangka, dan tempe — memiliki makna simbolis yang diturunkan dari suku katanya.

Dalam bahasa Jawa, kata wungu dari terong wungu berarti berwarna ungu, tapi juga bisa berarti 'terbangun'; sementara lanjar dari kacang lanjar (atau kacang panjang) bisa dimaknai sebagai 'berkah'.

Dan salah satu karakteristik mencolok dari slametan adalah pada kepasrahannya; sayur lodeh dibuat tanpa banyak harapan, apakah ia akan berhasil menolak bala atau tidak.

"Menariknya, sayur lodeh tidak bersifat individual," kata Santoso. "Ini adalah respons terhadap kemalangan yang sepertinya akan menimpa semua orang. Ini adalah upaya untuk mengurangi, juga menghindari, sesuatu yang sepertinya tak terhindarkan."

Bagi orang luar, salah satu hal menarik dari kisah keajaiban sayur lodeh adalah betapa tidak ajaibnya sayur itu sendiri. Bahan-bahannya dengan mudah dimiliki setiap rumah di desa.

Cara mempersiapkan hidangan ini pun mudah: masukkan semua bahan ke panci, lalu jerang di atas api.

Dahulu, ritual memasak sayur lodeh dimulai setelah dua pusaka kerajaan — tombak dan bendera suci, yang konon terbuat dari bahan yang diambil dari makam Nabi Muhammad — diarak keliling kota.

Tapi sekarang, sayur lodeh sudah seperti makanan biasa. Di samping kompleksitas linguistik dan numerologinya, ada sebuah kepraktisan, kebiasaan yang membumi, yang membuat slametan terasa bertolak belakang.

Kala itu, konon sayur lodeh membantu melewati masa-masa sulit selama letusan dahsyat Gunung Merapi pada 1006.

Sejarawan kuliner seperti Fadly Rahman memperkirakan tradisi memasak lodeh juga sudah dilakukan pada abad ke-16, setelah bangsa Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang panjang ke Jawa.

Beberapa sejarawan lain yakin bahwa "tradisi kuno" ini mulai muncul kembali pada abad-19; di pergantian ke abad 20, saat Yogyakarta menjadi jantung Kebangkitan Nasional Indonesia, periode di mana banyak mitos daerah ditemukan dan dirayakan.

Namun legenda sayur lodeh memang diperkuat pada awal abad ke-20.

Contoh paling terkenal adalah pada 1931, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, ketika Jawa telah dilingkungi wabah pes selama lebih dari dua dekade.

Namun catatan sejarah juga menunjukkan bahwa sayur lodeh telah dimasak untuk menanggapi krisis pada 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951.

Yang semakin pelik, lambat laun sayur lodeh menjadi kian populer di seluruh Nusantara. Maka semakin sulit pula menemukan alasan mengapa dan bagaimana hidangan ini berevolusi.

Tapi sejarawan Khir Johari mengatakan, pertanyaan-pertanyaan itu tidak relevan.

"Saat kita melihat sejarah sebuah makanan, kita tergoda untuk mencoba mengkait-kaitkan peristiwa sampai Anda menemukan kisah yang monosentris," ujarnya.

"Padahal bisa jadi makanan itu berasal dari lebih dari satu tempat."

"Komunitas Peranakan Tionghoa di Singapura menyajikan sayur lodeh sebagai semur sayur berkuah kuning yang dimakan dengan lontong," ujarnya.

"Sementara orang-orang Jawa di Singapura memasak lodeh tanpa kunyit."

Lahan pertanian subur di sekeliling Yogyakarta memang memasok sayuran yang memungkinkan penduduknya bertahan menghadapi wabah dan erupsi gunung berapi, tapi kota ini juga dikelilingi pelabuhan-pelabuhan maritim utama.

Mengkarantina penduduk berarti juga menerapkan isolasi pada para pendatang baru. Bisa jadi, para pelaut Jawa yang kemudian membuat lodeh populer hingga ke luar Yogyakarta.

Makanan sejenis sup, kuah, dan kari — layaknya sayur lodeh — sangat praktis dimasak saat terjebak di kapal.

Maka, hidangan ini pun terus berkembang. Di kota-kota hiper-urban di Asia Tenggara saat ini, sayur lodeh diperkenalkan kembali sebagai makanan kesehatan.

Lodeh juga menjadi hidangan warisan yang menarik bagi kelas menengah yang berkembang pesat.

Untuk generasi Instagram, sayur lodeh yang kaya warna cocok untuk menarik perhatian di linimasa.

"Saat pertama kali membuka toko saya, orang-orang biasanya datang untuk keperluan sosial media: 'Lihat, saya bersentuhan dengan budaya saya', semacam itu," kata Nova Dewi Setianbudi, pemilik kedai Suwe Ora Jamu di M Bloc, distrik kuliner kekinian di Jakarta.

"Namun sekarang orang Indonesia mulai menyadari manfaat kesehatan dari makanan tradisional kita; kita tidak selalu menyadari manfaat obat dari bahan-bahan seperti daun salam, serai, dan lengkuas."

"Lodeh adalah makanan yang sederhana," kata Nova, "Tapi ada filosofi hebat, kebijaksanaan, di baliknya. Kuncinya terletak pada bahan-bahan yang segar."

Namun untuk saat ini, perubahan tren kuliner di Jakarta tak ada hubungannya dengan popularitas lodeh di Yogyakarta.

Di awal pandemi, sebuah pesan beredar di WhatsApp, berisi instruksi memasak sayur lodeh untuk melawan Covid-19, yang diklaim berasal dari Sultan Yogyakarta saat ini.

Sebagian besar warga tergugah, dan mulai memasak sayur lodeh untuk dibagi-bagikan ke tetangga.

Yogyakarta telah berubah selama 20 tahun terakhir, dengan pembangunan hotel, mal, dan bandara yang pesat. Namun kebutuhan akan ritual oleh masyarakatnya tak berubah.

Meski begitu, tidak ada yang benar-benar yakin apakah pesan tersebut berasal dari Sultan.

Kepada koran lokal, Keraton menampik, meski banyak juga yang tidak percaya klarifikasi ini.

Yogyakarta adalah anomali; sebuah kesultanan otonom di dalam sebuah republik. Sultan saat ini tentu ingin dilihat sebagai sosok modern dan ingin menjauhkan diri dari takhayul yang melekat pada sayur lodeh.

Namun pada akhirnya, antusiasme warga terhadap sayur lodeh tidak akan hilang, juga terhadap khasiat yang terkandung di dalamnya.

Anda dapat membaca artikel ini dalam bahasa Inggris dengan judul A Javanese dish to banish the plague pada laman BBC Travel.

https://yogyakarta.kompas.com/read/2021/03/16/125200578/sejarah-sayur-lodeh-hidangan-penghalau-wabah-di-pulau-jawa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke