KULON PROGO, KOMPAS.com – Ada darah kental masih basah di tanah pekarangan yang banyak pohon kelapa, di Pedukuhan I Keboan, Kalurahan Karangwuni, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Itu adalah darah sapi betina berusia 3,5 tahun yang baru saja mati tertimpa pohon kelapa tumbang, Selasa (31/12/2023) siang.
Sapi itu merupakan peliharaan Paingin (70) dan Ponirah (60), pasangan lanjut usia yang hidup di rumah reyot, tidak jauh dari lokasi pohon tumbang.
Baca juga: Kisah Fahmi Ekspor Lato-lato ke Malaysia, Total Sudah Kirim 4,5 Ton sejak Awal 2023
Rencananya, kedua lansia ini memelihara sapi untuk dikembangbiakkan lalu dijual anakannya sebagai tambahan penghasilan.
“Kalau tidak menghindar, saya bisa kejatuhan pohon. Saya sampai gemetar,” kata Paingin menjelang petang, Selasa (31/1/2023).
Paingin menceritakan sapi itu ternak gaduh atau nggaduh. Bagi masyarakat Jawa, tradisi gaduh merupakan usaha pemeliharaan ternak bagi hasil. Dalam hal ini pemilik hewan mempercayakan ternaknya kepada orang lain dengan imbalan bagi hasil. Biasanya bagi hasil berupa hasil menjual anakannya.
Sapi yang dipelihara oleh Paingin ini milik seorang kenalan asal Kalurahan Sogan, Wates. Karenanya, buruh tani ini rutin mencari pakan untuk sapi.
“Sapi ini baru datang satu minggu ini. Belum lama,” kata Ponirah. Sinar wajahnya pudar.
Rumah tinggal Paingin-Ponirah memang berada di dalam kebun yang berisi sekitar 20 pohon kelapa. Di sana, pohon rata-rata memiliki tinggi belasan meter. Banyak pohon yang akarnya sudah kelihatan dan berisiko tumbang begitu ada angin kencang.
Dinding rumah mereka pada bagian luar terbuat dari asbes atau semacam gibsum yang retak di sana sini. Sapi biasanya tinggal di kandang yang berdiri di samping kiri rumah mereka.
Dalam rumah ada sofa lapuk, anyaman bambu yang menyekat tiap kamar dan lantai tanah. Salah satu bagian dalam rumah, dindingnya sudah melengkung, penuh jelaga dan sarang laba-laba. Tak hanya itu, banyak celah lebar yang tidak bisa menghalangi dinginnya cuaca.
Di rumah itu, kedua lansia hidup sendiri. Mereka memasak dengan bahan bakar dari kayu dan sabut kelapa kering. Sesekali cucunya mampir untuk menghangatkan suasana.
“Kami tinggal di sini sejak 1993-an. Ini rumah dan lahan orang. Kami diberi tumpangan,” kata Paingin.
Paingin cukup berharap bisa menambah penghasilan lewat gaduh sapi. Pasalnya, penghasilan dari buruh dan kerja serabutan tidak besar dan tidak tentu hasilnya.
Kenyataan berkata lain. Sapi itu mati tertimpa pohon kelapa seiring hujan deras dan angin melanda Kulon Progo.