KOMPAS.com - Blangkon merupakan tutup kepala sebagai pelengkap, salah satu, busana tradisional pria di Jawa, khsususnya Yogyakarta dan Solo.
Meski memiliki fungsi dan bentuk yang hampir sama, namun blangko memiliki perbedaan antara busana adat satu daerah dengan daerah yang lain.
Beberapa kalangan mengatakan blangkon merupakan asimilasi budaya Hindu dan Islam.
Para pedagang Gujarat keturunan Arab yang beragama Islam masuk ke Indonesia.
Mereka sering menggunakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala.
Hal itu, kemudian menginspirasi orang Jawa pada waktu itu untuk menggunakan kain ikat di kepalanya.
Baca juga: Pakai Aksesori Mirip Blangkon di MTV Asia, Taeyong NCT Curi Perhatian
Blangkon berasal dari kata "blangko" yang artinya siap pakai.
Pada jaman dahulu, blangkon tidak berbentuk bulat, tetapi seperti ikat kepala dengan proses pengikatan yang rumit.
Seiring perkembangan zaman, tercipta inovasi pembuatan ikat kepala yang siap pakai yang dijuluki blangkon.
Blangkon bermula dari kain persegi empat berukuran 105 cm x 105 cm, kain ini dilipat dua menjadi bentuk segitiga yang kemudian dililitkan di kepala.
Seiring perkembangan zaman, tercipta inovasi pembuatan ikat kepala yang siap pakai yang dijuluki blangkon.
Berikut perbedaan blangkon gaya Yogyakarta dan Surakarta:
1. Blangkon Gaya Yogyakarta
Blangkon Gaya Yogyakarta memiliki memiliki dua bentuk, yaitu bentuk Mataraman dan Kagok.
Kedua blangkong terbentuk dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan, kemadha, dan tunjungan.
Baca juga: Belajar dari Ganjar, Gubernur Gorontalo Aplikasikan Blangkon untuk Majukan UMKM